Indonesia Darurat Utang, BPK dan Banggar DPR Beda Pendapat!

Pemenuhan Kebutuhan Pokok
Presiden Joko Widodo (Foto - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, Semartara.News – Indonesia darurat utang, lembaga auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI baru-baru ini menyatakan kekhawatiran kemampuan pemerintah Indonesia untuk melunasi utang plus bunga yang terus meningkat atau membengkak sejak beberapa waktu terakhir.

Dilain pihak, rasio utang nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) yang juga terus meningkat naik.

Ketua BPK RI, Agung Firman Sampurna mengungkapkan, utang pemerintah semakin melebar akibat serangan pandemi Covid-19. Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini sudah melampaui pertumbuhan PDB nasional.

Laporan BPK tentang Indonesia darurat utang ini ditanggapi serius oleh Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah. Menurutnya, rakyat Indonesia jangan panik terkait pernyataan BPK tersebut.

Dia menilai, Per Mei 2021, utang pemerintah Indonesia meningkat 22 persen menjadi Rp6.418,15 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp5.258,7 persen triliun.

Adapun rasio utang pemerintah per Mei 2021 mencapai 40,49 persen, melonjak dibandingkan posisi Mei 2020 lalu 32,09 persen.Menurut Said, dalam pernyataannya di Jakarta, Senin, jumlah utang tersebut masih dalam posisi aman dari batas atas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2003 yaitu sebesar 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

“Saya kira pemerintah di mana pun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Politisi PDI Perjuangan ini.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, namun trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

BPK menyebutkan indikator kerentanan utang pada 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) antara lain rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.

Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen. Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Selain itu, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

Lebih lanjut, Anggota DPR dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Timur XI menilai,  pernyataan dalam bentuk laporan oleh BPK tentang utang memang baik, tetapi kurang bijak.

Menurutnya, harusnya BPK ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antarlembaga di saat negara Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.

“Pernyataan BPK ini baik, walau kurang bijak,” ungkapnya.

Ia menambahkan, jika ada pertimbangan lain di luar Undang-Undang, maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan.

“Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan,” jelas Said.

 

Tinggalkan Balasan