Berita  

Jalan Megawati dan Ahli Waris Partai Marhaenis

Jalan Megawati dan Ahli Waris Partai Marhaenis
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat memberikan pengarahan pada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (Foto - Ekslusif)

Jakarta, Semartara.News – Setelah buka puasa, pertengahan Juni 2016, Megawati Sukarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, menerima majalah Historia, di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Wawancara yang berlangsung hingga jam sebelas malam itu membahas beragam hal, terutama tentang jalan Megawati, Sukarno dan PNI.

Megawati terjun ke dunia politik pada 1986. Sebelum bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Megawati mengaku sempat diajak teman-temannya masuk Golkar dan diiming-imingi posisi penting. Namun dia menolak dan memilih untuk bergabung dengan PDI, partai hasil fusi Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), pada 1973.

“Untuk apa masuk Golkar, bapakku yang mendirikan PNI,” kata Megawati kepada Historia.

Soerjadi, ketua umum PDI, mengajak Megawati bergabung. “Soerjadi mengajak bukan karena kapasitas pribadinya. Tapi sebagai ketua umum partai. Kalau sebagai anggota, saya diminta berkeliling melakukan kampanye, ya saya jalankan,” kata Megawati dalam Megawati Soekarnoputri: Pantang Surut Langkah.

Kampanye yang berkesan bagi Mega berlangsung di Demak, Jawa Tengah. Dia menemui rakyat yang masih setia kepada PNI; mereka mengatakan: “kulo (saya) PNI.” Namun, mereka takut mengungkapkan karena merasakan tekanan dari pemerintahan Soeharto.

Di hadapan peserta yang awalnya cuma 15 orang, Mega dalam bahasa Jawa memperkenalkan diri: “Saya putri Bung Karno nomor dua, nama saya Megawati Sukarnoputri. Saya sekarang masuk ke partai, saya ingin kenalan sama bapak-bapak karena nanti ada pemilu. Mau bantu saya berani apa tidak?”

Rakyat menjawab: “Mboten wanton bu (gak berani bu).” Mega berpikir dan membayangkan rasa ketakutan rakyat saat itu benar-benar menghantui. “Itu yang bikin sedih. Kebayang tidak, sekian tahun ditekan,” kata Megawati.

Pengalaman itulah yang mendorong Megawati untuk membangkitkan keberanian rakyat. Mega berseru: “Akhirnya di panggung itu aku berani bilang, sedulur-sedulur yang ada di balik jendela dan pintu, yang melihat saya, saya Megawati Sukarnoputri ingin menyampaikan kepada saudara-saudara. Sudah waktunya untuk menghilangkan ketakutan.”

Di akhir kampanye, rakyat yang memadati alun-alun Demak mencapai 10 ribu orang. Itulah awal kebangkitan. Kehadiran Megawati mendongkrak perolehan suara PDI dalam Pemilu 1987. PDI meraih 40 kursi di DPR, naik dari 24 kursi. Megawati pun duduk menjadi anggota DPR periode 1987-1993.

Dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PDI. Namun, pemerintah tidak puas dan mendongkelnya dalam Kongres PDI di Medan pada 1996, yang memilih Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Mega tidak surut melangkah mempertahankan diri sebagai ketua umum PDI. Kubu Soerjadi yang disokong pemerintah merebut paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996. Peristiwa ini menelan korban jiwa dan membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.

Megawati memilih jalur hukum, namun kandas di pengadilan. PDI pun terpisah menjadi PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Megawati. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai ketua umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Megawati. Ini terlihat dari Pemilu 1997, perolehan suara PDI Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Megawati berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan yang melahirkan istilah “Mega Bintang”. Mega sendiri memilih golput saat itu.

Kongres V PDI di Denpasar Bali, pada 1 Februari 1999 memutuskan mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan. Azasnya Pancasila dengan bercirikan kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.

Menurut William Liddle, profesor emeritus Ohio State University, akar PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati adalah PNI yang didirikan Sukarno. Pada Pemilu 1955, PNI adalah partai terbesar dengan 22 persen suara. Sedangkan Pemilu 1999, PDI Perjuangan meraih 34 persen suara, jauh melebihi pendahulunya, PNI atau partai nasionalis lain pada Pemilu 1955 atau 1999.

Genealogi ideologis

Respon (1)

Tinggalkan Balasan