Jakarta, Semartara.News – Analis Sosial Politik dan Direktur Eksekutif IPI, Karyono Wibowo menyikapi kondisi terkini politik nasional, yaitu tentang wacana rekonsiliasi nasional yang sempat tertunda.
Rekonsiliasi nasional hendaknya menjadi kebutuhan yang perlu dikedepankan, agar bangsa ini tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan.
“Sayang, yang terjadi justru wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. Rekonsiliasi dimaknai sekadar berdamai dengan satu kelompok tertentu. Rekonsiliasi diartikan secara sempit. Misalnya, upaya kompromi dengan Habib Rizieq Shihab (HRS) dimaknai sebagai bentuk rekonsiliasi. Padahal, rekonsiliasi nasional berbeda dengan kompromi. Rekonsiliasi nasional memiliki landasan, tujuan, kerangka atau konsep dan komitmen bersama untuk mengakhiri konflik,” terang Karyono.
Dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan, mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu. Namun demikian tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Lanjut Karyono, rekonsiliasi memerlukan komitmen yang kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.
Tapi masalahnya, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru direproduksi, diduplikasi dan dimodifikasi terus menerus untuk tujuan tertentu.
Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi kompromi politik sebatas kepentingan elit.
Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elit. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan, tegas Karyono.
Wacana rekonsiliasi salah kaprah juga pernah didengungkan saat Pilpres 2019 berujung rusuh. Kondisi itu, seketika membuat pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai pemenang. Kemudian berkenan merangkul Prabowo Subianto yang sebelumnya menjadi lawan politik, selama dua kali Pilpres berturut-turut.
Upaya merangkul lawan politik itu menggunakan terminologi rekonsiliasi dengan dalih “the winner doesn’t take it all”, pemenang tidak mengambil semuanya. Ujungnya, Partai Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintahan dan mendapat jatah dua menteri. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sekadar koalisi.
Berangkat dari fakta empirik ini, jika upaya rekonsiliasi hanya sebatas untuk merangkul kubu Habib Rizieq Shihab (HRS), maka menggunakan istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat.