Destinasi, Semartara.News – Kalijodo adalah sebuah taman publik yang terletak di Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, di sepanjang bantaran Kanal Banjir Barat. Taman ini memiliki luas 3,4 hektar dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, pada tanggal 22 Februari 2017. Secara umum, kawasan yang dikenal sebagai Kalijodo mencakup RT 001, RT 003, RT 004, RT 005, dan RT 006 pada RW 05 Kelurahan Pejagalan. Sebelumnya, daerah ini terkenal sebagai pusat hiburan malam dan prostitusi untuk kalangan bawah. Kalijodo menjadi terkenal berkat sorotan dalam cerita dan film “Ca Bau Kan,” serta menjadi sasaran penertiban pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Setelah proses penggusuran, kawasan Kalijodo bertransformasi menjadi salah satu ruang publik terpadu yang ramah keluarga dan anak-anak di Jakarta.
Sejarah
Asal usul nama Kalijodo berasal dari kata “Kali” dan “Jodoh.” Pada masa lalu, tempat ini merupakan lokasi perayaan budaya Tionghoa yang dikenal sebagai Peh Cun, yaitu perayaan hari ke-100 dalam kalender Imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air, yang menarik perhatian kalangan muda dan dibiayai oleh orang-orang kaya dari kalangan Tionghoa. Dalam pesta ini, muda-mudi laki-laki dan perempuan menaiki perahu melintasi Kali Angke. Setiap perahu biasanya diisi oleh tiga hingga empat orang, dan jika seorang laki-laki tertarik pada perempuan di perahu lain, ia akan melemparkan kue bernama Tiong Cu Pia, yang terbuat dari campuran terigu dan kacang hijau. Jika perempuan tersebut menerima, ia akan melempar kembali kue serupa. Tradisi ini berlanjut sebagai ajang mencari jodoh, sehingga nama “Kali Jodoh” muncul. Namun, tradisi ini berhenti pada tahun 1958 setelah Wali Kota Jakarta, Sudiro, yang menjabat dari 1953 hingga 1960, melarang perayaan budaya Tionghoa.
Tempat Prostitusi
Menurut versi lain, Kalijodo sudah dikenal sebagai wilayah prostitusi terselubung sejak awal. Pada tahun 1600-an, banyak pelarian dari Manchuria yang berlabuh di Batavia dan mencari istri sementara atau gundik, karena tidak membawa istri dari negara asal mereka. Kalijodo menjadi tempat untuk mencari pengganti istri, dengan mayoritas calon gundik adalah perempuan lokal yang berusaha menarik perhatian pria etnis Tionghoa dengan menyanyikan lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Pada masa itu, perempuan yang menjadi gundik disebut “Cau Bau,” yang berarti perempuan, dan dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan pelacur. Meskipun demikian, aktivitas seksual dengan transaksi uang tetap berlangsung, dengan fokus utama pada hiburan dan penghasilan, mirip dengan konsep Geisha di Jepang. Seiring waktu, Kalijodo tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang etnis Tionghoa, tetapi juga laki-laki non-Tionghoa, sehingga kawasan ini berubah menjadi tempat pelacuran yang nyata, terutama setelah penutupan Kramat Tunggak.
Penertiban
Kalijodo sebenarnya sudah direncanakan untuk ditertibkan sejak tahun 2014 dengan alasan merupakan jalur hijau. Namun, penertiban tertunda hingga menunggu penyelesaian penertiban Waduk Pluit. Momentum penertiban muncul setelah terjadi kecelakaan yang melibatkan pengemudi yang mengonsumsi minuman keras sepulang dari Kalijodo. Pada tanggal 29 Februari 2016, penduduk Kalijodo direlokasi dengan melibatkan 5.000 personel Polri, 2.500 personel Satpol PP, dan 400 personel TNI. Proses penertiban berlangsung lancar, dengan penduduk yang memiliki KTP DKI bersedia dipindahkan ke rusunawa Marunda dan Pulogebang atau dipulangkan ke daerah asal mereka.
Pembangunan Kembali Kalijodo
Setelah penertiban, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), merencanakan pembangunan kembali kawasan Kalijodo dengan bekerja sama dengan pengembang swasta untuk mengerjakan beberapa proyek. Salah satu fokus pembangunan adalah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau. Kalijodo kini menjadi taman publik yang ramah keluarga dan anak-anak, diresmikan pada tanggal 22 Februari 2017 oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Taman ini dirancang untuk memberikan ruang bagi masyarakat, terutama keluarga dan anak-anak, untuk beraktivitas dan bersosialisasi dalam lingkungan yang aman dan nyaman.
Fasilitas dan Aktivitas di Taman Kalijodo
Taman Kalijodo dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan rekreasi dan edukasi. Beberapa fasilitas yang tersedia antara lain:
Area Bermain Anak: Taman ini memiliki area bermain yang dirancang khusus untuk anak-anak, dilengkapi dengan berbagai permainan yang aman dan menarik.
Ruang Terbuka Hijau: Taman ini menyediakan ruang terbuka hijau yang luas, ideal untuk piknik, olahraga, atau sekadar bersantai. Keberadaan pepohonan dan tanaman hias menambah keindahan dan kenyamanan taman.
Jalur Pejalan Kaki dan Sepeda: Taman Kalijodo dilengkapi dengan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda yang memudahkan pengunjung untuk berkeliling dan menikmati suasana taman.
Fasilitas Olahraga: Terdapat area untuk berolahraga, seperti lapangan basket dan area senam, yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk beraktivitas fisik.
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA): RPTRA di Kalijodo menyediakan berbagai program edukasi dan kegiatan untuk anak-anak, termasuk kelas seni, olahraga, dan kegiatan kreatif lainnya.
Dampak Sosial dan Budaya
Transformasi Kalijodo dari kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam dan prostitusi menjadi taman publik yang ramah keluarga membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Taman ini tidak hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi juga berfungsi sebagai ruang interaksi sosial yang memperkuat komunitas. Masyarakat kini memiliki tempat untuk berkumpul, berolahraga, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Kesimpulan
Kalijodo adalah contoh nyata dari perubahan yang signifikan dalam penggunaan ruang publik di Jakarta. Dari sejarah yang kelam sebagai pusat hiburan malam dan prostitusi, Kalijodo kini telah bertransformasi menjadi taman publik yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan berbagai fasilitas yang ada, Kalijodo tidak hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi juga simbol harapan dan perbaikan bagi komunitas di sekitarnya. Melalui upaya pemerintah dan partisipasi masyarakat, Kalijodo diharapkan dapat terus berkembang sebagai ruang publik yang inklusif dan bermanfaat bagi semua kalangan.
Penulis: Akika Nurbaiti, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)