Jakarta, Semartara.News – Kinerja penegakan hukum yang diprakarsai oleh pemerintah memiliki prestasi dalam pengungkapan kasus koruptor kelas kakap 2020, hal ini mendapat banyak perhatian masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Dikutip dari Antaranews.com, Sabtu (2/1/2021), Sejumlah koruptor kakap yang ditangkap di tahun 2020 bisa dibilang cukup bersejarah, karena belasan tahun tidak pernah berhasil diusut aparat penegak hukum pada pemerintahan sebelumnya.
Sementara yang lainnya merupakan koruptor tangkapan besar, karena menjadi petinggi pada tingkat Kementerian/Lembaga di Republik ini, berikut di antaranya:
1. Penangkapan Maria Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa adalah buronan pembobol Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang terjadi dalam rentang Oktober 2002 hingga Juli 2003, senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro.
Maria melarikan diri sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi. Buronan itu kabur ke ‘Negeri Kincir Angin’ Belanda selama 17 tahun atau tepatnya pada September 2003.
Pemerintah Indonesia kesulitan mengekstradisi Maria Pauline Lumowa karena wanita itu juga memiliki kewarganegaraan Belanda.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014.
Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Sudah menjadi buronan selama 17 tahun, Maria akhirnya berhasil diekstradisi dari Serbia oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada 8 Juli 2020.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang memimpin ekstradisi Maria Pauline Lumowa, menyebutkan bahwa ada upaya suap yang dilakukan agar pembobol kas Bank BNI senilai Rp1,2 triliun itu tidak diekstradisi.
Tapi upaya suap itu tidak terwujud berkat diplomasi hukum tingkat tinggi yang dijalankan pemerintah Indonesia, serta komitmen tegas pemerintah Serbia untuk membantu mengekstradisi Maria ke Indonesia.
Proses ekstradisi itu menjadi ‘buah manis’ dari komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum yang berjalan panjang.
Awal Januari, Maria akan segera menghadapi sidang pengadilannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ia disangkakan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 3, 6 UU 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ancaman pidana yang dikenakan maksimal kurungan seumur hidup.
2. Penangkapan Djoko Tjandra
Penangkapan buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa merupakan permulaan untuk menangkap buronan kasus korupsi cessie Bank Bali yang buron selama 11 tahun, Djoko Soegiarto Tjandra.
Karena sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berhasil membuktikan bahwa penegakan hukum sebetulnya bisa melampaui batas-batas negara.
Tjandra atau Tjan Kok Hui akhirnya ditangkap oleh personel Polri yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Listyo Sigit pada 30 Juli 2020, dengan dibantu Polisi Diraja Malaysia.
Kabareskrim kemudian membawa pulang Djoko ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.
Djoko Tjandra sudah berstatus terpidana sebelum buron selama 11 tahun, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 11 Juni 2009 dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan.
Selain itu, MA memerintahkan barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp546,468 miliar juga dirampas untuk dikembalikan ke negara.
Namun, ia kadung melarikan diri sebelum menjalani hukuman atau tepatnya 10 Juni 2009 ke Papua Nugini, menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Sejak 11 Juni 2009, Kejaksaan Agung menetapkan status buron untuk Djoko Tjandra dan ia pun masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Direktorat Jenderal Imigrasi dan daftar red notice Interpol.
Namun anehnya, setelah masuk red notice, Djoko Tjandra masih bisa datang ke Indonesia pada 8 Juni 2020 dan terlibat kasus pidana lagi, kali ini terkait pembuatan surat jalan palsu dan dugaan penghapusan red notice Interpol.
Kasus itu terungkap pertama kali ke publik melalui penuturan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada rapat di Komisi III DPR RI. Jaksa Agung heran mengapa kedatangan Djoko bisa melewati pintu Imigrasi, sedangkan statusnya masih buronan.
Djoko ternyata melibatkan pengacara Anita Dewi Anggraeni Kolopaking untuk mengurus surat jalan palsu kepada mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Sedangkan terkait red notice, Djoko melibatkan pengusaha Tommy Sumardi sebagai perantara suap kepada Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte agar menghapus namanya dari daftar red notice Interpol.
Dalam kasus pemalsuan surat jalan, Brigjen Pol Prasetijo Utomo terbukti bersalah bahkan memerintahkan bawahannya untuk menghilangkan barang bukti surat-surat tersebut dengan cara membakar.
Ia pun divonis oleh majelis hakim tiga tahun penjara.
Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra berhasil kabur lagi ke Pontianak, lalu terbang dengan pesawat pribadi ke Malaysia sebelum ditangkap oleh Polisi Diraja Malaysia.
Djoko Tjandra pun divonis lagi dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara dalam perkara surat jalan tersebut, sedangkan Anita Kolopaking dipidana 2 tahun 6 bulan penjara karena terbukti ikut terlibat.
Dalam kasus penghapusan red notice, pengusaha Tommy Sumardi divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta dan subsider enam bulan kurungan, karena mengaku membantu Djoko Tjandra memberikan suap kepada dua perwira tinggi Polri yaitu Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Vonis hakim lebih berat lima bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, kendati Tommy sudah mendeklarasikan diri sebagai pembantu penegak hukum mengungkap fakta di pengadilan (justice collaborator).
Dari keterangan Tommy Sumardi, hakim memperoleh keterangan terkait alur pemberian suap kepada Napoleon Bonaparte dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pada 27 April 2020 membawa 100 ribu dolar AS namun diambil Brigjen Pol Prasetijo Utomo sehingga Tommy hanya membawa 50 ribu dolar AS sehingga ditolak Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Uang 100 ribu dolar AS itu akhirnya disimpan seluruhnya oleh Prasetijo.
2. Pada 28 April 2020, Tommy memberikan uang 200 ribu dolar Singapura ditambah 50 ribu dolar AS yang sempat ditolak pada 27 April 2020
3. Pada 29 April 2020 Tommy memberikan 100 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte
4. Pada 4 Mei 2020 Tommy memberikan 150 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte
5. Pada 5 Mei 2020, Tommy memberikan 70 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte
Uang itu berasal dari Djoko Tjandra yang diberikan melalui sekretaris yang bernama Nurmawan Fransisca dan Nurdin dengan rincian:
1. Pada 27 April 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar AS
2. Pada 28 April 2020 Tommy mendapat 200 ribu dolar Singapura
3. Pada 29 April 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar Singapura
4. Pada 4 Mei 2020 Tommy mendapat 150 ribu dolar AS
5. Pada 5 Mei 2020 Tommy mendapat 20 ribu dolar AS
6. Pada 12 Mei 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar AS
7. Pada 22 Mei 2020 Tommy mendapat 50 ribu dolar AS
Sedangkan suap kepada Prasetijo Utomo menurut Tommy Sumardi diberikan sebagai berikut:
1. Pada 27 April 2020 Tommy memberikan uang sebesar 50 ribu dolar AS
2. Pada 7 Mei 2020 Tommy memberikan uang sebesar 50 ribu dolar AS
Namun, Prasetijo Utomo hanya mengakui mendapat 20 ribu dolar AS pada 27 April 2020 dari Tommy. Sementara Napoleon tidak mengaku sama sekali jika mendapat uang suap dari Djoko Tjandra.