Jangkar Baja: Jangan Ada Penyimpangan APBN untuk Kepentingan Capres

Jangkar Baja
Ketua Presidium Nasional Jaringan Kerja Akar Rumput Bersama Ganjar (Jangkar Baja) I Ketut Guna Artha (kiri)/Istimewa.

Jakarta, Semartara.Nerws — Ketua Presidium Nasional Jaringan Kerja Akar Rumput Bersama Ganjar (Jangkar Baja) I Ketut Guna Artha mengatakan, Pemilu yang bersih, jujur dan adil adalah harapan proses demokrasi melahirkan kepemimpinan nasional yang “legitimated”.

Oleh karena itu penting bagi semua pihak untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maupun anggaran yang bersumber dari APBN.

Hal tersebut disampaikan I Ketut Guna Artha yang biasa disapa Igat, dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (30/11/2023).

Igat yang juga salah satu Jubir Tim Pemenangan Nasional Ganjar Mahfud (TPN GM) itu menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 yang mengatur cuti menteri dan kepala daerah selama kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Artinya, kata dia, bahwa menteri atau kepala daerah yang sekaligus sebagai Capres/Cawapres tidak harus mundur dari jabatannya.

Igat menyebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto adalah calon presiden (Capres) yang berkontestasi dengan mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di pilpres 2024 yang saat ini memasuki masa kampanye.

“Kami pikir masyarakat boleh khawatir ketika salahsatu capres yang masih menjabat sebagai menteri pengguna APBN kemungkinan berpotensi menyalahgunakan alokasi APBN yang dikelolanya diluar kepentingan yang semestinya,” ujar Igat.

Menurut Igat, pasangan Capres Cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mulai memanfaatkan masa kampanye dengan hadir turun bertemu masyarakat menawarkan gagasan dan menyerap aspirasi mulai dari ujung timur dan barat Indonesia.

“Sementara di hari yang sama capres Prabowo Subianto tidak menggunakan masa kampanye perdananya melainkan melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia di Istana Kepresidenan Bogor menyepakati penambahan anggaran Kementerian Pertahanan (Selasa, 28/11/2023),” kata Igat.

Sebagaimana pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang turut hadir di pertemuan tersebut menyepakati kenaikan anggaran belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang bersumber dari pinjaman luar negeri.

“Untuk tahun 2020 – 2024 waktu itu sudah disetujui Bapak Presiden 20,75 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) untuk periode 2020-2024. Nah kemarin karena ada perubahan maka alokasi untuk 2024 menjadi 25 miliar dolar AS,” ungkap Sri Mulyani.

Sebagai informasi bahwa anggaran Kementerian Pertahanan tahun 2019 sebesar Rp 115,4 triliun, tahun 2020 sebesar 136,9 triliun, tahun 2021 sebesar Rp 125,9 triliun, tahun 2022 sebesar Rp 133,9 triliun dan tahun 2023 sebesar Rp 134,32 triliun.

Dalam konteks pengembangan sistem pertahanan matra laut dan modernisasi alutsista, Igat menyatakan mendukung ada perhatian negara untuk menambah anggaran untuk merealisasikan misi tersebut.

Namun, kata dia, tetap harus mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan mendasar rakyat yang belum seratus persen pulih dari dampak pandemi covid19, dampak perang Rusia-Ukraina, perubahan iklim global dan disrupsi teknologi.

“Faktanya anggaran yang besar malah digunakan untuk membeli pesawat bekas yang biaya pemeliharaannya besar, lalu yang seharusnya penambahan pangkalan Angkatan Laut dan Skuadron Angkatan Udara sebagai negara maritim malah masih berorientasi continental dengan menambah matra darat,” ucap Igat.

“Belum lagi masih termarginalnya kelompok tani akibat distribusi pupuk subsidi dan bantuan alat mesin pertanian (alsintan) yang tidak tepat sasaran serta belum optimalnya peran riset dan inovasi untuk ciptakan varietas unggul serta hadapi perubahan iklim global,” imbuh Igat.

Berdasarkan data BPS (2019), luas lahan nasional mencapai 63,4 juta hektar (33,7% luas daratan Indonesia). Lahan yang sudah dimanfaatkan untuk pertanian 53,1 juta ha. Artinya masih ada 10 juta ha yang terlantar.

Luas lahan Thailand 24,1 juta hektar (46% luas Thailand) digunakan sebagai lahan pertanian. Pertanian dijadikan sebagai sektor perekonomian utama.

Di Thailand, rata-rata petani memiliki 3 ha sawah, sementara Indonesia hanya memiliki 0,3 ha.

“Pertanian Thailand sudah berdaulat sementara Indonesia masih impor beras, jagung, kedelai, bawang. Berdasarkan survey kependudukan tahun 2020, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan sebesar 56,7%,” jelas Igat.

Artinya sebagai negara yang memiliki lahan pertanian yang luas harus menghadapi tantangan migrasinya petani di desa menjadi buruh di kota. Bagaimana kedepan nasib bendungan yang telah dibangun. Sektor pertanian menyumbang kurang dari 20% produk domestik bruto (PDB),” tambah Igat.

Kemudian kelompok nelayan dan masyarakat pesisir juga tak luput dari stigma kemiskinan. Penegakan hukum di laut di periode 2014-2019 tidak dilanjutkan dengan pemberdayaan pengelolaan potensi sumber daya maritim.

Mestinya masyarakat nelayan di periode ini telah di modernisasi dengan pengetahuan navigasi, oseanografi, fasiltas kredit untuk kapal tangkap besar sehingga tak lagi sebagai nelayan tradisional yang melaut hanya mengandalkan subsidi solar dan cuaca serta daya jelajah yang pendek. Padahal 70% wilayah Indonesia adalah perairan/laut.

Menurut Igat, besarnya potensi sumber daya maritim, perikanan baru menyumbang kurang 5% PDB nasional. Sementara negara subtropic Norwegia ekonominya terbesar disumbang oleh sektor kelautan dan perikanan.

Norwegia memiliki PDB 20 kali lipat dibanding Indonesia. Luas laut Norwegia 1,3 juta km2. Luas laut Indonesia 3,3 juta km2.

Dengan melihat realita tersebut maka pemerintah Presiden Jokowi masih punya tugas yang besar dalam mensejahterakan petani dan nelayan. Sektor ini juga perlu hilirisasi, bukan hanya sektor tambang yang pelakunya hanya kelompok kecil rakyat.

Upaya membangun sentra peternakan, perikanan dan lumbung pangan nasional (food estate) juga masih meninggalkan sejumlah persoalan.

“Oleh karena itu penambahan alokasi APBN untuk sektor pertahanan menjadi relevan untuk dikritisi dan diawasi agar tidak terjadi konflik kepentingan,” tutup Igat. (rilis)

Tinggalkan Balasan