SEMARTARA, Serang (11/11) – Generasi muda saat ini harus memiliki pola pikir digital. Yakni pola pikir untuk dapat mengakses dan memanfaatkan informasi yang tersedia dari seluruh dunia, sehingga dapat memberikan nilai, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
“Kita sudah masuk pada dunia digital, dimana internet adalah sesuatu, ia mendikte pada hal yang lebih detil dari perilaku, dan menjadi instrumen pemenuhan kebutuhan hidup publik. Kalau dulu internet hanya menghubungkan mesin dengan mesin, lalu beranjak pada internet mampu menggerakan dan menghubungkan people to people melalui sosial media (sosmed). Kini internet menjadi alat untuk pemenuhan kebutuhan yang lebih terperinci. Aplikasi adalah penjelmaannya,” kata Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan, dihadapan ratusan mahasiswa UIN SMH Banten, saat menjadi narasumber diskusi tentang transportasi online, cash burning, dan market profiling, di Aula Gedung A, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Kampus 2 UIN, Jumat (10/11).
Internet bagi pemerintahan ditahap ini, kata Fitron, masuk ke dalam aplikasi yang akrab untuk pelayanan. Muncul kemudian aplikasi smart city, bagaimana kebijakan di bungkus serba mudah, cepat, efektif dan efisien.
“Internet bagi bisnis kemudian menjadi alat untuk menghimpun data yang kita kenal dengan big data. Lalu di gunakan untuk menganalisis pasar, dan juga memprofil pasar. Kita menyebutnya market profiling. Dengan terintegrasinya data akhirnya bisa digunakan untuk memetakan masa depan bisnis. Ini kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar buruknya karena saat kita menggunakan internet, disaat yang sama seolah kita menyerahkan profil kita pada pemilik aplikasi,” ungkapnya.
Fitron yang juga alumni UIN SMH Banten ini melanjutkan, semua orang khususnya generasi muda berada pada posisi tak mampu melawan hegemoni ini, dan terpaksa harus menikmatinya. Dan kemudian akan terus menjadi komsumen.
“Handphone yang kini disaku kita adalah pembantu kita mencari dan memenuhi segalanya, tapi ia akhirnya memjadi semacam lobang, yang dari lubang itu apa yang kita dapatkan kita habiskan dari gadget itu sendiri. Belanja, berwisata, makan, transaksi bisnis semua dari genggaman tangan,” tuturnya.
Fitron mengimbau generasi muda di Provinsi Banten menyiapkan diri menghadapi era digital, jika tidak siap akan menimbulkan bumerang.
“Bukannya bisa mengelola kekayaan alam dan sumber daya manusia dengan bijak, para anak muda tersebut malah akan menghabiskannya dengan boros. Bangsa kita pun akan gagal membawa kesejahteraan dan keadilan. Pemerintah perlu menyiapkan generasi muda yang produktif dan inovatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan literasi teknologi agar bisa adaftif dengan era digital,” urainya.
Generasi muda yang kreatif, tambah Fitron, akan siap menghadapi era disruptif (gangguan) teknologi.
Oleh karena itu, kata Fitron, perlu dibangun sistem pendidikan yang lebih adaptif terhadap perubahan globalisasi dan revolusi informasi digital. Sistem pendidikan yang terbuka serta memanusiakan manusia, bukan sistem pendidikan yang menyeragamkan yang dibangun dengan asumsi masa lalu.
“Sistem itu akan melahirkan sekolah-sekolah masa depan. Sekolah yang menyenangkan, yang memberi ruang tumbuhnya keunikan potensi setiap anak manusia, yang membangun tiga aspek dasar ketrampilan manusia untuk hidup di era digital, yakni memiliki keseimbangan olah pikir, olah perilaku (karakter), serta etos kerja yang kuat dan gigih,” katanya.
“Di masa depan akan ada banyak profesi yang hilang akibat disrupsi teknologi karena digantikan mesin. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia belum menyiapkan anak-anak didik untuk menghadapi era digital,” sambung Fitron.
Peserta diskusi, Ahmad Rifai usai diskusi mengaku dirinya belum siap menghadapi era digitalisasi. Namun motivasi dari narasumber membuat dirinya sadar bahwa dunia saat ini telah berubah dengan cepat.
“Tantangan generasi muda semalin berat, kami harus kreatif agar mampu bersaing. Minimal dalam mendapatkan pekerjaan yang diimpikan,” katanya. (Soe)
Baca juga: