SEMARTARA, Tangerang (6/2) – Kurang dari satu bulan terakhir, tiga peristiwa runtuhnya bangunan konstruksi yang menelan korban terjadi di Ibukota dan sekitar Bandara Internasional Soekarno Hatta. Tercatat dari mulai ambrolnya tembok di Jalan Perimeter Selatan Bandara Soekarno-Hatta, Crane Ambruk di Proyek DDT PT KAI Matraman, dan ambrolnya kanopi Bursa Efek Indonesia (BEI) Tower II di Kawasan SCBD, Jakarta Selatan.
“Tiga peritiwa ini menelan korban yang meninggal sia-sia serta luka parah dan juga ringan. Keluarga yang ditinggal pasti dalam kesedihan. Pengelolaan kontruksi di Indonesia sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Ini tidak boleh terulang,” ungkap Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Selasa (6/2).
Tiga peristiwa yang seolah beruntun ini, lanjut Emrus, menunjukkkan manajamen konstruksi di Indonesia khususnya bidang pengawasan konstruksi bangunan Kementerian PUPR dan Kementerian BUMN sangat buruk. Sudah jamak analisis dari pakar konstruksi yang menjelaskan bahwa manajemen konstruksi tidak berjalan semestinya.
Bahkan menurutnya, ada yang mempertanyakan bagaimana proses pengadaan barang dan jasa dalam bidang konstruksi tersebut. KPK perlu turun untuk memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa dalam bidang konstruksi berjalan dengan baik atau terjadi kemungkinan “kong kalikong”.
Minggu lalu, kata Emrus, Tim ahli dari Lembaga EmrusCorner melakukan analisis dan sangat persuasif mempertanyakan (sudah di-release) siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan menajemen konstruksi di Indonesia. Hal demikian dilakukan agar pihak-pihak yang bertanggung jawab misalnya Kementerian PUPR dan Kementerian BUMN dapat melakukan langkah-langkah antisipatif dan atau evaluasi terhadap seluruh konstruksi yang akan dikerjakan, sedang dibangun, dan yang sudah selesai.
“Nyatanya, tembok di jalan perimeter bagian selatan Bandara Soekarno-Hatta ambrol,” ujarnya.
Oleh sebab itu, malam tadi melalui diskusi yang sangat intensif di Lembaga EmrusCorner muncul pada kesimpulan bahwa yang paling bertanggung jawab atas kegagalan manajemen konstruksi dari tiga peristiwa di atas adalah dua menteri yakni Menteri PUPR dan Menteri BUMN.
“Sangat sulit diterima akal sehat bilamana ke depan kedua menteri ini menciptakan argumentasi sebagai tindakan “cuci tangan” untuk menghindari tanggung jawab,” kata Emrus.
“Mengingat ketiga peristiwa ini sangat berdekatan, ini menunjukkan kedua menteri tidak melakukan fungsi pengawasan yang memadai,” imbuhnya.
Dan karena itu, lanjut dia, sangat wajar kedua menteri sejatinya secara satria dan dalam waktu sesingkat-singkatnya meminta maaf kepada keluarga korban dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Setelah pernyataan maaf, saat itu juga kedua menteri sebaiknya meletakkan jabatannya, sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap publik.
“Jangan menambah beban politik Presiden dengan menunggu reshuffle. Ini tidak baik. Bilamana kelak ada masalah pelanggaran hukum yang terkait dengan jabatan kedua menteri, biarkan aparat hukum bekerja secara netral dan professional,” pungkasnya. (Helmi)