SEMARTARA, Jakarta (17/5) – Slogan dengan hastage #2019GANTIPRESIDEN dan #2019TETAPPRESIDEN yang beredar luas di muka publik, baik melalui kaos maupun lewat media sosial, dinilai hanyalah sebuah slogan sampah yang tidak memiliki manfaat. Bahkan, slogan tersebut berpotensi memicu konflik di masyarakat.
“Dari aspek komunikasi politik, kedua slogan tersebut sangat-sangat tidak produktif dan sama sekali tidak ada manfaatnya, dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bahkan berpotensi inskonstitusional,” ujar Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner, dalam releales-nya yang dikirim ke semartata.com, Kamis (17/5).
Ia juga mengungkapkan, jika merujuk kepada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak ada yang menyebutkan jargon tersebut.
“Keputusan MK mengamanatkan Pemilu serentak yang dimulai tahun 2019, yaitu Pemilu DPR-RI, DPR RI, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Propinsi, serta DPRD kabupaten/kota. Jadi, dalam keputusan MK tersebut tidak ada menyinggung tentang ganti presiden atau tetap presiden. Maka, #2019GANTIPRESIDEN dan #TETAPPRESIDEN, sebaiknya diakhiri,” tegasnya.
“Jadi, tidak ada tertulis pada konstitusi kita, ganti presiden atau tetap presiden. Elit politik hanya boleh menjelaskan program yang terukur dan menawarkan sosok para calon legislatif dan eksekutif. Persoalan ganti presiden atau tetap presiden menjadi rana kedaulatan rakyat, otonomi rakyat, bukan intervensi dari elit politik. Rakyat harus merdeka menentukan pilihan. Tidak boleh terjadi penggiringan opini apalagi mengarahkan penentuan pilihan, seperti #2019 GANTIPRESIDEN dan #TETAPPRESIDEN,” papar Emrus Sihombing menambahkan.
Munculnya #2019GANTIPRESIDEN dan #2019TETAPPRESIDEN, menurut dia, hanya menjadi tendensius kepada sosok tertentu. Kedua tanda pagar (tagar) dengan kalimat tersebut, sangat tidak produktif. Bahkan, sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat, bangsa dan negara, kecuali hanya memanipulasi persepsi publik untuk tujuan prakmatis dari segelintir elit politik tertentu.
Politik itu, lanjut Emrus, harus mencerdaskan masyarakat. Untuk itu, seharusnya para elit politik berwacana dan “bertarung” pada visi, misi, gagasan, ide yang tentunya diturunkan pada tingkat program yang terukur secara kualitatif dan kuantitatif. Dan kemudian, program ini menjadi janji politik yang harus direaliasikan dan ditagih oleh seluruh rakyat Indonesia kepada suatu rezim pemerintahan tertentu dalam kurun waktu lima tahunan, jika terpilih.
“Oleh sebab itu, mereka yang berada pada posisi oposisi, sebaiknya berkonsentrasi untuk mendalami dan mewacanakan kelemahan dan kekurangan rezim pemerintah yang sedang berkuasa berdasarkan fakta yang valid yang tak terbantahkan serta menawarkan solusi yang terukur dari aspek program dari tahun ketahun kelak mereka berkuasa lima tahun ke depan,” tandasnya. (Helmi)