Berita  

Wacana Industri Indonesia Sekarang dan Masa Depan

SEMARTARA, Kota Tangerang (4/1) – Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, sebagaimana dimuat merdeka.com, melontarkan wacana bahwa penyebab utama pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain adalah karena rendahnya kontribusi sektor industri. Dengan kata lain, sektor industri negara lain lebih besar peranannya terhadap perekonomian.

Menanggapi wacana tersebut, dengan bantuan teknologi sosial media, dua pemikir utama dari Lembaga EmrusCorner (Dr. Hasudungan Sihombing/Hastoruan dan Dr. Emrus Sihombing) melakukan diskusi virtual secara intensif dan mendalam. Berdasarkan diskusi tersebut muncullah tesis-tesis sebagai sumbangan pemikiran holistik tentang kemajuan sektor industri di tanah air, sekarang dan masa depan.

“Benar. Kami setuju, tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat maju karena sektor konsumsi. Fakta menunjukkan bahwa setiap negara maju pastilah karena kontribusi sektor industri pada perekonomiannya,” demikian disampaikan Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif EmrusCorner, saat berbincang dengan Semartara.com melalui seluler.

Selain itu dengan mengandalkan sektor industrinya, lanjut Emrus, berarti suatu negara telah menjadi negara produktif, bukan konsumtif. Kontradiktif dengan realitas negara maju, Indonesia saat ini masih mengandalkan sektor konsumsi sebagai penyumbang pertumbuhan (55,61%, BPS 2017).

Secara teoritis pertumbuhan (GDP) dirumuskan sebagai berikut:
GDP = C + I + G + ( X – M ), dimana:
C = Pengeluaran Konsumsi
I = Pengeluaran Investasi
G = Pengeluaran Pemerintah
X = Ekspor
M = Impor
(X-M) = Ekspor Bersih

“Pemerintah kita jarang sekali memperhatikan faktor M (Impor) dalam suatu kebijakan. Padahal, bagi negara tertentu seperti Indonesia, faktor inilah yang selalu menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi. Walaupun pemerintah menggenjot E (Ekspor) setinggi-tingginya tetap tidak akan memberikan pertumbuhan yang tinggi kalau Impor juga meningkat,” tutur dia.

Begitu juga dengan C, I, dan G. Menurut ia, walaupun semua faktor ini tumbuh positif namun total pertumbuhan akan selalu rendah, sehingga target pertumbuhan ekonomi sering tidak tercapai.

“Hal inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Semua kinerja C, I, G, dan X meningkat tetapi target pertumbuhan tahun 2017 sebesar 5,2% tidak tercapai. Tampaknya pemerintah lupa bahwa pada tahun 2017 ini, pertumbuhan Impor juga terjadi, terutama pada bahan baku/penolong (16,37%) dan barang modal (11,53%). Dengan kata lain, pertumbuhan Impor telah menyandera pertumbuhan Ekspor,” jelasnya.

Apa kaitannya dengan sektor industri? Jelas erat sekali. Sebab menurutnya, fokus pemerintah saat ini adalah membangun sektor infrastruktur, utamanya transportasi dan energi. Kedua sektor ini “rakus” akan peralatan-peralatan Impor dan bahan baku/penolong. Proyek-proyek jalan (termasuk tol) dan pelabuhan banyak sekali menggunakan alat-alat berat. Dan hampir semua alat berat tersebut merupakan Impor.

Kemudian dari hasil diskusi mengemuka bahwa secara umum setiap proyek infrastruktur dapat “menyedot” hampir 80% komponen Impor. Sisanya sekitar 20% komponen lokal berupa material dan tenaga kerja.

“Inilah yang terjadi. Sehingga berapa pun besarnya kinerja sektor lain, termasuk sektor industri, tetap saja tidak mampu mendongkrak pertumbuhan karena akan selalu disurutkan oleh komponen Impor sebagai konsekuensi pembangunan infrastruktur,” tukasnya.

Ia menjelaskan, kinerja pertumbuhan industri manufaktur yang berada di atas sektor lain, sebenarnya merupakan catatan positif bagi sektor perindustrian. Tetapi hal ini tetap tidak mampu mengangkat kinerja pertumbuhan tahun 2017. Hal itu karena industri manufaktur bukan jalan keluar yang dapat mengkompensasi Impor peralatan infrastruktur.

“Berangkat dari pemikiran di atas, muncul pertanyaan kritis: apakah sektor industri infrastruktur hanya merupakan tugas dari Kementerian Perindustrian saja? Melihat luasnya cakupan industri infrastruktur, sepertinya tidak mungkin demikian, apalagi Kementerian Perindustrian bukan merupakan Menko,” katanya.

Untuk itu, saran dia, perlu dikaji secara jernih, sudahkah Kemenko Perekonomian telah melibatkan Bappenas dalam pengembangan industri di tanah air? Demikian juga perlu dikaji peran kementerian lainnya yang terkait seperti Kemenkeu, Kementerian PUPR, Kemenhub, Kementerian ESDM dan Kemenko Kemaritiman dalam memacu sektor industri di negeri ini.

“Peran semua kementerian terkait hal tersebut seharusnya dikoordinir oleh Kemenko Perekonomian. Dari awal, misalnya, Kemenko ini harus mengkalkulasikan bagaimana dukungan sektor industri terhadap proyek-proyek infrastruktur. Juga menghitung seluruh kebutuhan proyek infrastruktur yang ada dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2017,” ujarnya.

Namun, sambung dia, perhitungan tersebut harus menjawab pertanyaan mendasar:
-Bagaimana kesiapan rantai pasok (supply chain) proyek-proyek tersebut?
-Berapa jumlah peralatan dan bahan serta tenaga kerja yang dibutuhkan?
-Bagaimana kesiapan industri dalam negeri, mampu atau tidakkah kebutuhan tersebut dipenuhi oleh industri dalam negeri?
-Bagaimana strategi pengembangan industri saat ini, atau 5-10 tahun ke depan agar tidak lagi tergantung Impor?

Sementara dari hasil diskusi tim pemikir Lembaga EmrusCorner menyimpulkan bahwa masalah tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi bukan disebabkan rendahnya kinerja sektor industri, melainkan mencakup dimensi yang lebih luas. Yakni dimensi kemandirian dan pembangunan yang multi sektor. (Helmi)

Tinggalkan Balasan