Kota Tangerang, Semartara.News – Tihar Sopian (TS), yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) untuk periode 2022-2024, saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Gakum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) namun belum dilakukan penahanan dan masih aktif berkantor.
Keberadaan TS sebagai tersangka tetapi belum ditahan dan masih bisa menjalankan tugasnya memicu banyak pertanyaan dari masyarakat.
Menanggapi hal ini, Dosen Hukum Pidana/Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Undang Prasetya Umara yang saat ini menjabat juga sebagai Kepala Bagian Non Litigasi Lembaga Bantuan Hukum UMT memberikan penjelasan. Ia menyatakan bahwa pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang dikenakan kepada TS adalah berkaitan dengan UU Administrasi. Dalam hal ini, penegakan hukumnya didasarkan atas tiga aspek:
1. Penegakan dari perspektif administrasi, seperti pemberian teguran dan pengawasan.
2. Penegakan secara hukum perdata atau keperdataan, dan kemudian
3. Hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
“Jadi, berdasarkan prinsip dasar dari UU Administrasi, tidak dapat langsung melompat ke penegakan hukum pidana. Semua harus diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur Administrasi dan Keperdataan, sebelum menuju hukum pidana sebagai pilihan terakhir,” ujarnya kepada Semartara.News, Kamis (12/12/2024).
Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), lanjutnya, penyidik biasanya dapat melakukan penahanan jika terdapat bukti yang cukup, ada kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi perbuatan pidana yang sama.
“Apabila ketiga unsur dalam Pasal 20 KUHAP tersebut terpenuhi, itu menjadi syarat formil atau alasan subyektif penyidik untuk melakukan penahanan terhadap seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka,” jelas Dosen Fakultas Hukum UMT tersebut.
Lebih jauh, ia menambahkan pentingnya adanya alasan objektif untuk melakukan penahanan. Dalam KUHAP Pasal 21 ayat 4 huruf a, dinyatakan bahwa penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka jika tindak pidana yang diancam adalah pidana penjara selama 5 tahun atau lebih.
Sementara itu, ungkapnya, dalam kasus TS, ancaman pidananya hanya 1 tahun penjara, yang menunjukkan bahwa ini adalah tindak pidana ringan. Apalagi, TS adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang keberadaannya dapat dengan mudah diketahui atau dipantau oleh orang-orang. Dengan demikian, TS tidak memenuhi syarat objektif untuk dilakukan penahanan.
“Jadi, kedua alasan subjektif dan objektif ini menjadi penyebab tidak dilakukannya penahanan terhadap TS, menurut pandangan saya sebagai seorang yang mendalami hukum pidana,” tambahnya.
Kenapa TS Masih Bebas Ngantor?
Mengenai status TS yang masih aktif berkantor, ia melanjutkan, secara birokrasi, TS masih memiliki hak untuk berkantor karena belum ada keputusan hukum atau putusan pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah, meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun demikian, menurutnya, seharusnya TS bisa dinonaktifkan dari jabatannya agar dapat fokus pada proses penegakan hukum yang sedang berlangsung.
“Itu merupakan kewenangan atasan. TS sebaiknya dipindahkan dari jabatannya agar dapat fokus dalam menjalani proses hukum. Hal ini cukup dapat dipahami,” imbuhnya.
Sebelumnya, telah diketahui bahwa TS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran karena tidak melaksanakan kewajiban Sanksi Administratif Paksaan KLH terkait pengelolaan TPA Rawa Kucing. Ia disangka melanggar Pasal 114 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 1 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. (Kahfi/Red)