Opini Presiden Tiga Periode, Asvi Warman Adam: KKN Merajalela

Opini Presiden Tiga Periode
Presiden Joko Widodo bersma Kapolri dan Panglima TNI (Foto - Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, Semartara.News – Opini presiden tiga periode kembali mencuat di ruang-ruang publik. Sebelumnya, relawan Jokowi-Prabowo 2024 (Jokpro 2024) sangat kuat mendorong wacana ini. Diketahui, relawan ini sudah mengadakan syukuran peresmian Kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Komunitas Jokpro 2024 di Jakarta Selatan, Sabtu, 19 Juni 2021 lalu.

Wacana ini kemudian menimbulkan kontroversi. Pasalnya, pasca-Reformasi, jabatan presiden dan wakil presiden telah ditetapkan maksimal dua periode melalui Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal ini mengakhiri kemungkinan presiden dipilih lebih dari dua periode seperti pada masa Orde Baru.

Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Dialog Sejarah “Perspektif Sejarah Masa Kepresidenan” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Jumat, 2 Juli 2021, menyebut bahwa, opini presiden tiga periode berbanding terbalik dengan  amandemen Pasal 7 UUD 45 yang merupakan amandemen paling esensial pada awal Reformasi. Pasal ini menyelamatkan Indonesia dari kemungkinan getir terulang pada masa pemerintahan Soeharto.

Pada 1968, Soeharto dipilih oleh MPRS sebagai presiden RI. Ia kemudian terpilih lagi secara beruntun setiap lima tahun sekali, yakni pada 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Setidaknya ia telah menjabat selama 30 tahun atau 32 tahun jika dihitung dari keluarnya Supersemar.

“Nah apa bahayanya kalau presiden itu sempat berkuasa 30 tahun? Kekuasaan itu akan terpusat, tidak ada yang mengontrol, tidak ada yang berani untuk mengkritik presiden. Dan kemudian korupsi, kolusi, nepotisme itu akan merajalela,” kata Asvi.

Dampak lain, sambung Asvi, adalah pembungkaman terhadap perbedaan pendapat, pelanggaran HAM berat hingga tersumbatnya regenerasi kepemimpinan. Asvi mencontohkan, dalam pidatonya di Pekanbaru pada 1980, Soeharto bahkan dengan jelas menentang amandemen UUD 45.

Soeharto mengatakan bahwa jika amandemen dilakukan oleh MPR dan suara mencapai kuorum, ia akan menculik satu anggota MPR yang menyetujui amandemen. Dengan demikian, amandemen akan gagal.

“Soeharto di sini dengan sangat-sangat keras memakai istilah culik. Itu tradisi dia rupanya. Culik saja satu orang itu. Dan itulah yang menyebabkan kemudian itu mendapat protes dari para politisi senior yang kemudian mengeluarkan Petisi 50,” jelas Asvi, dikutip dari historia.id.

Petisi 50 ditandatangani oleh tokoh-tokoh senior seperti Mohammad Natsir, Ali Sadikin, A.H. Nasution hingga Hoegeng Imam Santoso. Belakangan, mereka mengalami pengucilan politik hingga ekonomi. Mereka juga dicekal ke luar negeri.

Hoegeng punya pengalaman pahit tersendiri. Jenderal polisi yang dekat dengan Soemitro Djojohadikusumo ini suatu ketika mendapat undangan pernikahan Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto dari Soemitro sendiri. Namun, sehari sebelum acara pernikahan, Soemitro meneleponnya dan mengatakan bahwa Soeharto tidak mau berada dalam satu acara pernikahan dengan Hoegeng.

“Jadi orang berbeda pendapat itu demikian besar dampaknya, sampai untuk hadir di acara pernikahan pun tidak boleh,” kata Asvi.

Reformasi kemudian berusaha memperbaiki keadaan. Melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7, presiden kini tak bisa menjabat lebih dari dua periode dengan masa jabatan lima tahun setiap periode.

“Jadi itulah yang menyebabkan ya, pada awal reformasi itu kita mengambil sikap, bangsa ini mengambil sikap yang sangat demokratis dan melakukan hal yang sama juga dengan negara-negara demokrasi lainnya,” ujar Asvi.

Menurut Asvi, jabatan lima tahun dan dapat pilih lagi untuk lima tahun kemudian telah menjadi standar universal bagi negara demokrasi. Negara seperti Prancis, kata Asvi, yang dulu presidennya bisa menjabat selama tujuh tahun dan bisa dipilih untuk tujuh tahun lagi, sejak 2007 telah menyesuaikan menjadi lima tahun jabatan.

Sikap Lembaga MPR Terkait Opini Presiden Tiga Periode

Wakil Ketua MPR RI, DR. Ahmad Basarah pernah membantah keras terkait opini liar yang menyasar lembaga MPR itu.

Menurutnya, amandemen UUD 1945 hanya bersifat terbatas, yaitu agar MPR hanya dapat menetapkan pokok-pokok haluan negara (PPHN).

Lebih lanjut, politisi muda PDI Perjuangan ini menilai, apabila amandemen ini kemudian diperluas, Fraksi PDI Perjuangan di MPR akan menolak, khususnya poin tentang mengenai perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

“Sama sekali kita tidak pernah membahas presiden dipilih oleh MPR. Sikap PDI Perjuangan ini adalah amendemen terbatas. Artinya tidak mau melebar ke mana-mana. Hanya menambah satu ayat di Pasal 3 UUD 1945 yaitu MPR diberikan wewenang untuk menetapkan haluan negara dan haluan pembangunan nasional,” ungkap Basarah, Sabtu (26/6/2021).

Tinggalkan Balasan