Penerbitan SP3 sendiri adalah produk hukum KPK terbaru berdasarkan Undang-Undang KPK edisi revisi, yaitu, UU Nomor 19 Tahun 2019. Sebelumnya, KPK tidak diberi hak untuk mengeluarkan SP3 seperti penegak hukum lain, yaitu Polri dan Kejaksaan Agung.
Penghentian penyidikan tersebut, diatur dalam Pasal 40 UU No. 19/201 yang berbunyi: “KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.”
Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu, terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.
Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Atas amanat UU tersebut, bisa saja bila ada putusan praperadilan yang membatalkan SP3, penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim dapat dibuka kembali. Terhadap opsi praperadilan tersebut, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku akan melakukannya.
MAKI berencana segera mengajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan SP3 tersebut ke di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Boyamin menyebut, MAKI maksimal mengajukan gugatan pada akhir April 2021 untuk mengimbangi langkah “April Mop” oleh KPK.
“Tadinya kami berharap SP3 ini adalah bentuk ‘April Mop’ atau prank dari KPK namun ternyata April beneran karena SP3 benar-benar terbit dan diumumkan secara resmi oleh KPK,” kata Boyamin dikutip dari laman yang sama.
MAKI pada tahun 2008 pernah memenangi praperadilan atas SP3 melawan Jaksa Agung atas perkara dugaan korupsi BLBI BDNI, dengan putusan praperadilan berbunyi pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana korupsi. Pertimbangan hakim praperadilan tersebut akan dijadikan dasar praperadilan yang akan diajukan MAKI.
Semestinya, KPK tetap mengajukan kedua tersangka ke pengadilan dengan sistem in absentia, karena selama ini Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim kabur pernah masuk daftar pencarian orang. MAKI merasa keadilan masyarakat tercederai karena SP3 diberikan kepada orang yang kabur dan buron.
Opsi kedua adalah, terkait dengan pengembalian kerugian negara yang dapat diproses lewat gugatan perdata, seperti Pasal 32 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 32 Ayat (1) menyebutkan bahwa, dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Dalam Pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Artinya, KPK meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai instansi yang mewakili negara sebagai pihak yang dirugikan untuk melakukan gugatan melalui Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) kepada Sjamsul dan Itjih NUrsalim.
Opsi agar KPK segera melimpahkan berkas kepada jaksa pengacara negara, kemudian dilakukan gugatan perdata ini didukung oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Hal ini penting untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya pada masa mendatang.
Jadi, opsi mana yang akan ditempuh KPK?
Penyuluh Penyintas Korupsi