Berita  

Hal Baru KPK, SP3 dan Penyuluh Antikorupsi di Penjara

SP3
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Kamis (1/4/2021). (Foto - Antara)

Jakarta, Semartara.News – Setidaknya ada dua hal yang baru pertama kali dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 31 Maret 2021. Pertama, adalah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan kedua, adalah program penyuluhan antikorupsi untuk para narapidana kasus korupsi.

Pertama, SP3 tersebut untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang diduga merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.

Dua tersangka yang dihentikan penyidikannya adalah, pemegang saham pengendali BDNI: Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 13 Mei 2019, karena, diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Ketua BPPN 2002-2004, Syafruddin Arsyad Temenggung.

Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka, baik Sjamsul maupun Itjih, belum pernah diperiksa, baik sebagai saksi maupun tersangka di tingkat penyidikan, meski KPK, sudah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap keduanya ke tiga lokasi, yaitu The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte. Ltd. (keduanya berlokasi di Singapura), dan ke satu alamat di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Ikhwal penerbitan SP3 untuk Sjamsul dan Itjih Nursalim tersebut, disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Sebagai bagian dari penegak hukum, dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku. Penghentian penyidikan ini, kata Alexander dalam konferensi pers yang dikutip dari LKBN Antara di Gedung KPK, Kamis (1/4/2021), sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam penegakan hukum.

Kepastian hukum tersebut, harus diterapkan setelah penolakan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan KPK ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung pada tanggal 16 Juli 2020.

PK tersebut ditolak MA, karena menurut hakim penelaah MA, dan berdasarkan memorandum Kasubdit Perkara PK dan Grasi Pidana Khusus pada MA, ternyata, permohonan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan formil. Persyaratan formil yang dimaksud diatur pada Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dan putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 dan SEMA No. 04/2014.

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Artinya, permohonan tersebut bahkan tidak sampai ke majelis hakim PK di MA, karena sudah gugur di hakim penelaahan.

PK itu diajukan KPK karena, pada tanggal 9 Juli 2019, setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Sehingga, melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Dalam putusan kasasi tersebut, ketua majelis hakim kasasi, Salman Luthan, menyatakan perbuatan Syafruddin adalah perbuatan pidana. Namun, hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa, perbuatan tersebut masuk ranah hukum perdata, sedangkan anggota 2 berpendapat bahwa, perbuatan itu adalah perbuatan yang melanggar hukum administrasi. Artinya, 2:1 untuk perbuatan nonpidana dan perbuatan pidana.

Belakangan diketahui, hakim Syamsul Rakan Chaniago, sempat berkomunikasi dengan salah satu penasihat hukum Syafruddin, yaitu Ahmad Yani pada tanggal 28 Juni 2019, saat Syamsul masih menjadi hakim anggota untuk kasasi Syafruddin sehingga Syamsul dikategorikan melanggar Pasal 5 Ayat (3) Huruf e Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Syamsul pun dikenai sanksi etik berupa hakim nonpalu selama 6 bulan sejak September 2019. Meski salah satu hakim kasasi terbukti telah bertemu dengan kuasa hukum Syafruddin, sehingga melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara, PK yang diajukan KPK tetap gugur.

Padahal, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 24 September 2018 telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan, pada tanggal 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar. Setelah upaya hukum luar biasa (PK), KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana terkait dengan perkara tersebut.

“Disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK,” ungkap Alexander.

Pakar hukum yang diundang berasal dari Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Jenderal Soedirman. Setelah mendengarkan pendapat para pakar dan melalui tiga kali ekspose internal, dengan suara bulat KPK pun mengeluarkan SP3.

SP3 Langkah Terakhir?

Tinggalkan Balasan