Berita  

Dialog dengan Pengurus APTA, Ananta Sarankan Pengrajin Melakukan Riset

SEMARTARA, Tangerang (12/3) – Dialog dengan para pengurus Asosiasi Pengrajin Tangerang (APTA), Senin (12/3), Anggota DPRD Provinsi Banten Ananta Wahana terima keluhan terkait sulitnya pengrajin memasarkan merek sendiri lantaran harus bersaing dengan merek impor yang disinyalir  plagiat. Pengrajin APTA juga menilai bahwa maraknya produk impor yang disinyalir plagiat tersebut, juga telah menghambat pasar pengrajin. Dan ini juga menjadi penyebab banyak pengrajin yang ikut-ikutan mencatut merek.

Menanggapi hal ini, Ananta menilai, apa yang disampaikan oleh para pengurus asosiasi para produsen alas kaki sepatu dan sandal ini perlu melakukan riset, agar dalam menyelesaikan persoalan tersebut tidak hanya berasumsi, dan mengedepankan data. Karena, menurut Ananta, yang juga memiliki pengalaman di bidang persepatuan, mengembangkan pasar di bidang persepatuan tersebut bukan hal yang mudah.

“Ini perlu melakukan riset, bisa melibatkan mahasiswa atau lembaga lainnya, supaya persoalan-persoalan yang dihadapai oleh temen-temen pengrajin ini tidak sekadar berasumsi, tapi memang benar-benar memiliki data yang real. Hal ini juga tentu saja akan memudahkan kita sebagai legislatif untuk menyampaikan kepada ekskutif, sebagai pemangku kebijakan untuk ikut menyelesaikan persoalan tersebut,” paparnya.

Ia juga sangat mengapresiasi apa yang selama ini dilakukan oleh pengrajin yang tergabung di APTA. Karena, dalam kondisi seperti apapun, pengrajin telah memberikan kontribusi kepada masyarakat, terutama dalam mengatasi persoalan pengangguran.

“Apalagi dalam program Pak Jokowi ini juga bagian dari mengembangka dan membangun perokoniman yang berdikari,” katanya.

Ananta, yang juga sebagai pembina di APTA ini, akan melakukan komunikasi dengan Pemprov Banten untuk membantu soal promosi, termasuk akan mengawal kebijakan-kebijakan Pemprov Banten yang berkaitan dan berpihak kepada pengrajin.

Ketua Umum APTA, Widi Hatmoko menjelaskan, pihaknya terus mengajak seluruh pengrajin di Tangerang untuk berkarya dengan merek sendiri. Saat ini, sudah ada beberapa pengrajin yang berproduksi dengan merek sendiri, dan sudah lebih dari 25 pengrajin yang sudah mendaftarkan merek ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementrian Hukum dan HAM.

Ia juga menilai, persoalan plagiat bukan saja menjadi persoalan pengrajin saja, tapi sudah menjadi persoalan negara. Untuk itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut, agar masyarakat, terutama pengrajin yang tergabung di APTA bisa berkembang secara ekonomi yang berdikari, negara harus hadir.

“Semua komponen negara harus hadir di sini. Karena persoalan plagiat yang saat ini masih terjadi di Tangerang, juga menjadi persoalan negara. Ketrampilan yang dimiliki oleh pengrajin ini adalah potensi untuk mendulang ekonomi kreatif yang berdikari, tapi ketika dihadapkan dengan persoalan pencatutan merek, produk impor yang disinyalir ilegal, atau mungkin saja ada permainan-permainan kotor di balik itu semua, ini harus diselesaikan secara bersama-sama,” paparnya.

Menurut Widi, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang hak cipta, juga tidak sepenuhnya memberikan solusi agar masyarakat, terutama pengrajin untuk berintegrasi dengan merek sendiri, apabila peredaran barang impor yang disinyalir plagiat dan ilegal itu masih terus beredar di Indonesia.

“Kita, secara internal di organisasi juga sedang melakukan riset, apakah benar itu produk impor ilegal atau bukan. Kalau memang benar seperti itu, tentu saja bukan masyarakat pengrajin saja yang dirugikan, tapi juga negara. Karena pengrajin akan terus ikut-ikut membuat merek plagiat dengan merek yang sama demi untuk mendapatkan pasar. Saya pikir, pemerintah juga harus ikut mensosialisasikan terkait hal ini, ” tandasnya. (Helmi)

Tinggalkan Balasan