Abraham Garuda Lakosono. Sebuah nama yang diharapkan oleh orang tuanya akan menjadi sosok orang baik, beriman, kuat dan teguh dalam pendirian serta cinta rakyat dan bangsanya.
Abraham akrab dipanggil Abe oleh kawan-kawannya lahir di Tangerang pada 29 Juni 2001. Bungsu dari dua bersaudara dengan drg. Huga Sekar Arum, S.K.G., M.M., M.A.R.S., putra putri dari seorang ayah bernama Ananta Wahana dan ibu Radiati.
Berikut ini adalah kumpulan gagasan serta pemikiran Abe yang dirangkum dalam bentuk tulisan.
Abraham Garuda Laksono: From Zero to Hero
Abraham Garuda Laksono adalah sosok muda yang berani “ke luar” dari kebiasaan kaum milenial umumnya out of the box untuk memilih karir di jalur dunia politik.
Bukan tanpa alasan, meski bermodal nol pengalaman politik, anak muda dengan nama beken Abe ini memilih karir di jalur kebanyakan dihuni kaum gaek itu.
“Saya merambah dunia politik karena terinspirasi keluarga yang juga pejuang suara nurani rakyat,” ungkap Abe.
Memang, pemuda jebolan James Cook University Singapura ini memiliki darah trah politik yang kental mengalir dalam dirinya. Dulu kakeknya juga merupakan anggota DPRD di Sukoharjo dan Solo dari PNI.
Kiprah sang kakek dalam memperjuangkan nasib rakyat, telah menginspirasi anak muda kelahiran 2001 ini. Kata dia, walaupun menjabat anggota DPRD saat itu, tapi kakeknya hidup sangat miskin.
“Dan kalau Kakek saya berangkat kerja itu pakai sepatu, tapi pulangnya tidak pakai Sepatu, karena dikasihkan ke orang lain. Ini juga yang telah menginspirasi saya dalam mendedikasikan untuk memperjuangkan rakyat lewat jalur politik,” ujarnya.
Kemudian, bak pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Abe adalah anak bungsu dari dua bersaudara putra dari Ananta Wahana yang merupakan politisi senior Banten dari PDI Perjuangan.
Tak kalah heroik dengan kakeknya, Ananta Wahana adalah pejuang sejati kehidupan rakyat kecil di Banten khususnya.
Setidaknya sudah lima kali Ananta duduk di lembaga wakil rakyat, dan sekarang tercatat di Senayan sebagai Anggota Komisi VI DPR RI.
Berkarir di PDI Perjuangan
Jalur politik yang ditempuh Abraham dimulai dengan mendaftarkan diri sebagai calon legislatif untuk DPRD Provinsi Banten ke DPC PDI Perjuangan Kabupaten Tangerang pada September 2022 lalu.
Kemudian, anak muda penghobi otomotif itu setelah berjuang mengikuti kontestasi Pemilu 2024, berhasil menjadi calon legislatif terpilih dari daerah pemilihan atau Dapil Banten 6.
“Ini adalah awal perjuangan saya. Selain sebagai wujud langkah konkrit untuk memperjuangkan nasib rakyat di Dapil, juga menjadi jembatan bagi kalangan milineal generasi saya dalam menyuarakan aspirasi melalui ranah politik,” ucapnya.
Begitulah sekelumit perjuangan anak muda penuh inspirasi. Jalur politik sebagai kiprah yang dipilihnya sudah membuktikan bagi generasi seusianya.
Bahwa meski berawal hanya dengan bermodal niat. Namun keberhasilan bisa diraih dengan perjuangan, from zero to hero.
Abraham Garuda Laksono: Penyambung Lidah Kaum Milenial
Politisi muda PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono berjanji akan “berbagi rasa” dengan generasi seusianya saat menjalankan tugas politik setelah pelantikan nanti.
Rasa itu adalah sebuah misi untuk menjadi jembatan bagi kalangan milineal generasinya dalam menyuarakan aspirasi melalui ranah politik.
Tekad pemuda kelahiran 2001 tersebut dipastikan setelah ditetapkan KPU menjadi calon anggota DPRD Provinsi Banten terpilih dalam kontestasi Pemilu 2024 lalu.
“Tentu pertama soal nasib rakyat yang menjadi konsen perjuangan. Dan tak kalah pentingnya, bagaimana nanti saya bisa mengawal suara-suara kaum milenial didengar dan diakui,” ungkap pemilik nama beken Abe itu.
Kaum milenial adalah sebuah entitas yang juga disebut generasi Y atau generasi “kepo” merupakan pribadi yang pikirannya terbuka. Mereka juga memiliki rasa percaya diri yang bagus, dan optimis. Namun mengabaikan masalah politik.
Memang problem kaum milenial adalah kurang percaya terhadap urusan politik, wajar jika tidak tertarik berkecimpung. Mereka menganggap suaranya kurang diperhatikan saat ini.
Lantaran buntu menjadi alasan, tidak nyambungnya komunikasi antara milenial dengan legislatif yang rata-rata dihuni beda generasi.
Problem komunikasi beda generasi ini tentu harus dimitigasi. Dan Abraham hadir untuk mengambil peran itu, agar milenial bisa lebih care ke politik sebagai alat perjuangan.
Ini juga memberi pesan, perlu ada “wajah baru” dan regenerasi dalam kepemimpinan modern di lembaga legislatif , yang cocok dengan suasana kebatinan milenial untuk memulihkan keadaan.
“Kritik milenial terhadap politik harus diterima dan didengarkan. Dan menanggapinya secara terbuka dan konstruktif sebagai bentuk memperkuat pondasi kepercayaan,” kata Abe.
Mengembalikan Kepercayaan Milenial
Seperti apa yang diungkapkan Sindy (24), salah satu milenial yang mengantar Abraham saat daftar jadi calon anggota DPRD Provinsi Banten pada September 2022 lalu.
Dia menyebut, pencalonan Abraham menjadi anggota legislatif merupakan bentuk upaya untuk mengembalikan kepercayaan kalangan milenial kepada politik.
Menurutnya, selama ini milenial cenderung kurang percaya secara politik kepada wakil rakyat lantaran dianggap banyak janji, tapi miskin aksi dan solusi.
“Saatnya butuh gerakan milenial. Dan Mas Abe merupakan awal yang baik di legislatif untuk pergerakan anak muda yang selama ini kerap dipandang sebelah mata,” paparnya.
Kata dia, sosok Abraham bisa jadi contoh dan promodel yang baik bagi gerakan-gerakan anak muda milenial yang bisa dipercaya.
Karena Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang pintar. Indonesia banyak orang pintar tapi tidak ada wadahnya.
“Semoga Mas Abe dengan kreatifitasnya dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat. Dan dia dapat mengambil hati milenial,” ucapnya.
Begitulah tekad Abraham, pemuda jebolan James Cook University Singapura pada usia 19 tahun. Misi politiknya bukan kaleng-kaleng, penyambung lidah kaum milenial.
Abraham Garuda Laksono: Rakyat Butuh Pemimpin Berkelas dan Berkualitas
Politisi milenial PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono mengatakan, bahwa melalui mekanisme demokrasi rakyat butuh pemimpin berkelas dan berkualitas.
Karena itu rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin terbaik melalui rekrutmen calon pemimpin di Pemilu sebagai bentuk kedaulatan rakyat.
Kendati dalam Pemilu, rakyat kerap disuguhkan berbagai pilihan calon pemimpin melalui slogan dan gambar terpampang di baliho-baliho besar di pingir jalan.
Alih-alih untuk merebut hati rakyat agar mau mencoblos sang calon di bilik suara.
Rakyat hanya melirik baliho para calon pemimpin berjejer di kiri-kanan jalan itu.
Padahal calon-calon di baliho juga nampak menghibur tersenyum sepintas. Namun tadi, rakyat hanya melintas, karena merasa sudah terlalu lelah.
Rakyat malah menganggap baliho-baliho itu tak memberi makna dan bukanlah jawaban.
Baliho hanya kelemahan bagi mereka yang tak mampu menyentuh hati, tegas rakyat katanya.
Abraham melihat fenomena baliho di setiap Pemilu itu sebagai keniscayaan dalam kompetisi politik yang ketat dari sistem suara terbayak.
Untuk menjadi terpilih dalam Pemilu, menebar baliho merupakan strategi propaganda dan kampanye agar dikenal dan rakyat mau memilih.
Tapi ternyata, kata dia, rakyat tak membutuhkannya. Baliho-baliho itu dianggap tak mampu menciptakan perubahan, tak mengubah pandangan. Hanya pemborosan ruang dan bahan saja.
“Senyum dan slogan di baliho itu sebetulnya adalah sebuah pesan,” ungkapnya.
Namun telah mengesankan bagi rakyat menjadi tak bermanfaat.
“Karena rakyat butuh didengar suaranya dan diperhatikan,” imbuhnya.
Pemimpin Berkelas
Soal pemimpin, Abraham berpandangan bahwa kepemimpinan adalah sebuah sifat dasar yang dimiliki setiap manusia.
Namun, untuk menumbuhkan sifat kepemimpinan yang kuat, tidak mudah. Walau setiap orang diciptakan sebagai pemimpin.
Pemimpin tidak dilahirkan, tapi melalui proses penerpaanlah seorang pemimpin itu lahir.
Dia mengutip pepatah ‘pelaut yang hebat tidak terlahir dari laut yang tenang. Tapi lahir dari laut yang penuh dengan ombak dan badai’.
Karenanya saat terpilih oleh rakyat pada Pemilu 2024 lalu. Bagi Abraham itu awal perjuangan masuk ‘Kawah Candradimuka’ untuk terlahir menjadi seorang pemimpin sejati.
Memang bakat kepemimpinan pemuda penggiat sosial budaya itu tidak diragukan lagi.
Dia memiliki trah darah pemimpin yang kental mengalir dalam dirinya.
Sang kakek adalah seorang pemimpin, pernah jadi wakil rakyat di Sukoharjo dan Solo dari PNI pada zamannya.
Sementara ayahnya yaitu Ananta Wahana, di Banten merupakan politisi senior dari PDI Perjuangan. Setidaknya lima kali tercatat berkiprah di lembaga wakil rakyat.
“Tentu akan terus saya ikhtiarkan untuk menjawab keinginan rakyat. Ini soal integritas dan responsibility untuk memperkuat pondasi kepercayaan,” ucapnya.
Begitulah Abraham, dedikasinya untuk memperjuangkan nasib rakyat lewat jalur politik telah mengesankan kepemimpinan berkelas dan berkualitas.
Bukan sekedar slogan dan senyuman di baliho saat kampanye. Yang hilang lenyap terbawa angin lalu.
Abraham Garuda Laksono: Cinta Kebangsaan yang Menyatukan
Politisi milenial PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono bicara soal cinta. Bukan cinta biasa, tapi cinta kebangsaan penuh makna.
Cinta persamaan, setara dan berdaya. Ada toleransi di dalamnya, dan keadilan sosial adalah ‘sekuntum mawar’ yang dipersembahkan sebagai tujuan.
Bukan cinta penuh polarisasi opini, anak bangsa saling menyalahkan dan menjelekan.
Salah dan benar menjadi label diperdebatkan. Tanpa cinta mereka mencari pembenaran dengan jalan sendiri-sendiri.
Merobohkan pondasi kebersamaan ribuan suku dan bahasa penghuni negeri.
“Kita butuh cinta kebangsaan. Sekarang semua persoalan bangsa diumbar. Anak bangsa berkelahi tanpa solusi, melelahkan,” ungkap Abraham.
Memang persoalan kebangsaan saat ini kompleks dan rumit. Kekuasaan menjadi dagangan laris menguntungkan bagi kelempok tertentu.
Korupsi bak bara membakar ilalang kering di padang luas sumber daya alam negara nan kaya dan berlimpah.
Yang semestinya menjadi modal untuk mensejahterakan rakyat seluas-luasnya.
Hukum jadi prajurit cemen, hanya hormat pada kekuasaan politik jelmaan Jenderal Naga Bonar. Yang menang belum tentu benar, yang kalah belum tentu salah.
Keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam pengambilan kebijakan dinegasikan, dibungkus menjadi kesepakatan sepihak seolah-olah persetujuan.
Seperti apa yang terjadi di Rempang, Batam. Demi investasi jumbo rakyat dikorbankan.
Bagi-bagi jatah izin tambang pun ditebar bak menjaring ikan di kolam kering. Menyentuh area sensitif kelompok tertentu yang seharusnya suci dari kepentingan.
Alhasil anak bangsa pro kontra berseteru kehilangan arah dan cinta.
Ibarat penggalan lagu “Bongkar” dari musisi Iwan Fals, ‘Kalau cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan. Bagi mereka yang diperbudak jabatan’
Sebuah lirik menceritakan tentang isu-isu sosial dan politik, cocok dengan situasi kebangsaan saat ini.
Cinta yang Menyatukan
Abraham menyebut, sesungguhnya Bung Karno pendiri bangsa telah mewariskan kekuatan yang menyatukan begitu hebat yaitu gotong royong.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan, gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama.
Gotong royong adalah ringkasan dari Pancasila sebagai wujud dasar filsafat negara yang terlahir dari kearifan peradaban bangsa Indonesia.
Gotong royong mampu menjadikan hal berbeda menjadi sama, berlandaskan kebenaran yang dapat diterima bersama.
Karenanya Abraham mengingatkan, politik bukanlah medan perang. Namun jalan menuju kesejahteraan bersama walau kita berbeda di dalamnya.
Kita butuh kebersamaan untuk mencapai tujuan berbangsa yang lebih baik di masa depan.
Dalam perbedaan, kita temukan kekuatan bersama, “Dan itulah cinta kebangsaan. Cinta yang asyik dan menyatukan,” tegas Abraham katanya.
Abraham Garuda Laksono: Tuanku Adalah Rakyat
Calon Anggota DPRD Banten terpilih dari PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono menyatakan komitmennya untuk mengabdi dan menjadi pelayan setia rakyat.
Sebuah tanggung jawab moral seorang milenial, pemimpin pilihan dari hasil proses kedaulatan rakyat.
Kedaulatan yang mencerminkan komitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil, setara dan berdaya.
Mengabdi kepada kepentingan rakyat. Merespon dan bertindak atas dasar aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Abraham menyadari amanah berat di pundaknya. Setiap tindakan dan langkah diambil, menjadi tanggung jawab yang harus memberikan manfaat konkrit bagi rakyat.
Setiap individu harus memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan harkat kemakmuran dan kesejahteraan.
Layanan esensial seperti pendidikan dan kesehatan menjadi kepastian dapat diakses secara adil dan merata.
Dengan begitu keadilan sosial yang jadi tujuan bernegara bisa menjalar dan dinikmati segenap rakyat.
Tanpa diskriminasi beralasan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
“Ini bentuk responsibility, integritas dan moralitas. Juga menjadi tindaklanjut dari kepercayaan rakyat,” ungkapnya.
Rakyat Adalah Tuan
Sesungguhnya Abraham memiliki semangat kuat soal kerakyatan.
Buktinya, kiprah berjuang untuk rakyat melalui jalur politik telah dipilih milenial kelahiran 2001 itu.
Dan pilihan itu bukan hal biasa-biasa saja. Lantaran kiprah di politik dianggap bukan “jalur nyaman” bagi milenial umumnya.
Abraham kerap mendapati kenyataan, masih banyak rakyat yang hidup kesusahan.
Kemiskinan dan pengangguran problem paling serius bahkan akut di masyarakat.
Untuk belanja kesehatan dan pendidikan, rakyat menjadi tak berdaya.
Penghasilan tak seberapa habis buat beli beras dan barang pasar lainnya yang serba mahal.
Anak-anak jatuh stunting, kurang asupan gizi dan terhambat tumbuh kembangnya.
Apalagi saat Indonesia didera bencana Covid. Rakyat makin susah karena ekonomi terhimpit akibat berbagai pembatasan.
Kami harus ke luar dari kondisi ini. Kami butuh pemimpin yang peduli dan mampu merubah keadaan, kata rakyat tegasnya.
Rakyat pun telah memilih anak muda itu jadi pemimpin untuk memperjuangkan nasibnya.
Untuk memperkokoh ikatan dan kepercayaan itu, Abraham menyatakan, bahwa pelibatan rakyat secara partisipatif dalam setiap pengambilan kebijakan perlu terus didorong dan dikuatkan.
Ini penting sebagai upaya membendung ketimpangan sosial yang terus menjalar. Akibat tekanan ekonomi dan kebijakan yang salah urus, tidak tepat sasaran.
Kebijakan yang pro rakyat kecil seperti memperbesar ruang usaha lokal dengan fasilitas modal dan pasar mendukung harus dipastikan dan berkesinambungan.
Dan untuk mewujudkan itu semua, sebagai milenial Abraham telah mengambil risiko lewat jalur politik, berjuang dan melayani rakyat.
“Karena sejatinya merekalah tuannya,” ucap Abraham.
Begitu kuatnya spirit kerakyatan dari pemuda jebolan James Cook University Singapura di usia 19 tahun itu.
Benar apa kata Bung Karno “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Abraham Garuda Laksono: Menjaga Pancasila Tetap Menyala
Politisi PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono bicara soal Pancasila. Ideologi yang harus tetap menyala dalam kehidupan berbangsa.
Pancasila adalah nilai-nilai kearifan hasil perasan dari peradaban bangsa Indonesia yang hidup berabad-abad lamanya. Menjadi perekat ribuan suku dan bahasa penghuni negeri.
Sebuah warisan luhur Bung Karno pendiri bangsa. Agar negara kita tidak terpecah-pecah, lenyap tinggal nama.
“Pancasila terbukti mampu menjaga bangsa tetap utuh dan bersama. Walau kita berbeda di dalamnya,” ucap Abraham.
Karenanya Indonesia disebut negara lain ‘negeri ajaib’. Negara maritim terdiri 17.000 pulau, 1.340 suku, dan lebih dari 700 bahasa yang hidup, namun Indonesia tetap utuh hingga saat ini.
Bayangkan dengan Yugoslavia dan Uni Soviet yang kini tidak ada lagi lenyap tinggal kenangan. Yugoslavia pecah jadi 7 negara, dan Uni Soviet bubar jadi 15 negara.
Padahal pada zamannya, Josip Broz Tito peminpin Yugoslavia pernah berkoar kepada Bung Karno, bahwa jika dia mati akan mewariskan kekuatan militer sangat kuat untuk menjaga keutuhan negaranya.
Sementara ketika ditanya soal yang sama, Bung Karno menjawab, “Aku tidak khawatir, karena telah kuwariskan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia,” tegasnya kepada Tito.
Kendati demikian, Abraham mengingatkan kita jangan sampai terlena, hanya mengklaim bahwa negara Indonesia negara besar, dengan kekayaan budaya dan sumber daya alam berlimpah.
Sebab semua itu bisa hilang lenyap tinggal cerita. Jika api Pancasila padam, tak lagi menyala dalam kehidupan bangsa.
Kini Pancasila sedang dihadapkan pada berbagai tantangan. Arus informasi dan budaya asing menjadi tak terbendung lagi, dampak perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat.
Khawatirnya dapat memicu muncul ideologi-ideologi baru yang bertentangan, akibat tergerusnya nilai-nilai Pancasila.
Ketimpangan sosial melebar, hukum menjauh dari keberpihakan. Hingga keadilan menjadi barang mahal tak terjangkau rakyat.
Rakyat bisa tersesat lantaran rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap Pancasila.
Sementara pemahaman dan pengamalan Pancasila di masyarakat terutama kalangan generasi muda mengalami pelemahan.
Pancasila Harus Tetap Menyala
Menurut Abraham, Pancasila bukan ideologi yang statis, melainkan dinamis dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Pancasila, sebagai ‘kompas’ memiliki peran fundamental dalam membimbing arah dan tujuan bangsa.
Karenanya dibutuhkan upaya kuat agar Pancasila tetap menyala dalam setiap sanubari anak bangsa.
Memperkuat Pancasila perlu dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, dengan melibatkan seluruh elemen bangsa.
Melalui pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah dan universitas. Menyelenggarakan program-program edukasi dan internalisasi Pancasila bagi masyarakat luas.
Mendorong implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Juga diperlukan mengembangkan narasi Pancasila yang menarik, agar mudah dipahami generasi muda sebagai agen perubahan penjaga nilai-nilai Pancasila.
“Bung Karno tidak menciptakan Pancasila. Tapi hasil penggaliannya jauh ke dalam bumi pertiwi, dari tradisi-tradisi budaya bangsa. Dan Bung Karno menemukan lima butir mutiara yang indah,” ungkap Abraham.
Oleh karenanya, sebagai benteng pemersatu bangsa Indonesia, semangat nilai-nilai Pancasila harus tetap menyala di seantero negeri.
“Jika padam, maka bangsa besar ini hanya tinggal kenangan. Seperti Yugoslavia,” imbuh Anggota DPRD Banten terpilih Pemilu 2024 itu.
Abraham Garuda Laksono: Keluarga Adalah “Aset Politik” Paling Berharga
Politisi muda PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono mengatakan, bahwa keluarga merupakan aset paling berharga dalam kiprahnya di politik.
Sebagai politisi milenial kelahiran 2001, Abraham menyadari betul hal itu. Dia beranjak ke dunia politik bermodal nol pengalaman.
Namun atas dukungan keluarga, dia bisa melampaui kontestasi politik begitu ketat untuk menjadi pilihan rakyat.
Anak muda usia 23 tahun itu berhasil meraih kursi DPRD Provinsi Banten dari daerah pemilihan Banten 6 di Pemilu 2024 lalu.
“Keluarga adalah anugrah terbesar. Dukungannya dapat diandalkan mempu merubah keadaan. Dan keluargalah aset paling berharga dalam kiprah saya di politik,” ungkapnya.
Abraham adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Dia putra dari Ananta Wahana, tokoh politik berpengaruh di Banten dari PDI Perjuangan.
Ada kewajaran jika sebagai milenial Abraham punya ketertarikan ke dunia politik sejak dini, lantaran terlahir dari keluarga politik yang kental.
Keluarga dengan ikatan emosional yang kuat dan sering mendiskusikan urusan kemasyarakatan.
Politik sudah menjadi menu diskusi harian. Sebuah proses sosialisasi politik dalam keluarga.
Kini dia telah memilih berkarir di politik. Pilihan berbeda dengan generasi seusianya yang tak begitu hirau politik dan enggan berkecimpung.
Sesungguhnya pilihan itu bukan tanpa pilihan lain yang lebih menggiurkan bagi jebolan James Cook University Singapura usia 19 tahun ini.
Lulus dari Singapura, sesaat dia menjejaki kiprah yang dianggap lebih ideal, selayaknya milenial yang memiliki sirkel dan lingkungan tersendiri.
Dia mendapat tawaran dari berbagai perusahaan dengan jabatan strategis dan salary pantastis, antara lain dari perusahaan di negeri Sakura Jepang.
Namun di tengah pencariannya itu, Abraham batinnya terungkit saat-saat berdiskusi soal kerakyatan. Dia pun kembali ke rumah dan menemukan pilihannya di sana.
Seperti ungkapan seorang novelis Irlandia George A. Moore, “Seseorang berkeliling dunia untuk mencari apa yang dia butuhkan, dan kembali ke rumah untuk menemukannya.”
Lahir dari Keluarga Politisi
Memang Abraham lahir dari keluarga politisi kental. Dia adalah generasi ketiga dalam keluarga itu.
Sang kakek adalah seorang politisi generasi pertama. Pernah jadi wakil rakyat di Sukoharjo dan Solo dari PNI pada zamannya.
Sementara ayahnya yaitu Ananta Wahana ‘generasi tengah’. Setidaknya lima kali tercatat berkiprah di lembaga wakil rakyat.
Karenanya Abraham banyak memperoleh nilai penting dan keyakinan politik dari kakek dan ayahnya.
Menurut pandangannya, sudah menjadi ketentuan zaman sikap sosial politik cenderung berbeda antargenerasi.
Perbedaan tantangan yang dihadapi sering kali menyebabkan perbedaan pilihan sikap politik lintas generasi.
“Ketika generasi lama cenderung melihat politik secara ideologis. Bisa jadi generasi sekarang lebih pragmatis,” ujarnya.
Namun, kata dia, keluarga menjadi sumber sosialisasi politik yang paling penting.
Keluarga telah menanamkan budaya politik sebagai contoh. Sehingga memiliki keyakinan politik yang mirip walau beda generasi.
Begitulah pandangan politik Abraham, dia telah menempatkan keluarga segalanya. Sebagai aset pemberian Tuhan paling berharga.
Abraham Garuda Laksono: Ikhtiar Meningkatkan Derajat Kesehatan Rakyat Banten
Politisi milenial PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono bicara soal derajat kesehatan di Provinsi Banten.
Sebagai layanan esensial menjadi salah satu ukuran tingkat kesejahteraan suatu daerah.
Semakin tinggi derajat kesehatan suatu daerah, semakin tinggi pula kesejahteraan daerah tersebut.
Kendati demikian, saat ini derajat kesehatan di berbagai daerah masih terbilang rendah.
Tantangannya adalah sarana fasilitas kesehatan minim, belum memadai dan tidak merata.
“Hambatan seperti sumber daya rendah, jumlah petugas kurang dan anggaran terbatas masih menjadi problem dominan,” ungkap Abraham.
Dia menyebut, kurangnya peralatan medis, pasokan, dokter, dan tempat tidur umumnya menjadi kekhawatiran utama kesehatan di berbagai daerah.
Seperti jumlah dokter hanya 25 per 100.000 orang, dan rumah sakit juga penuh dengan peralatan kuno dan usang.
Masalah ini menempatkan peringkat layanan kesehatan negara kita terbawah dibandingkan negara-negara ASEAN.
Dan berada di peringkat ke 92, hanya memiliki 1 dokter per 5.000 penduduk versi WHO.
Indonesia hanya membelanjakan 2,9% PDB untuk layanan kesehatan. Salah satu angka terendah di dunia.
Kondisi Kesehatan di Banten
Abraham melihat, kondisi kesehatan di Banten perlu upaya perbaikan untuk melaju ke arah lebih baik lagi.
Infrastruktur kesehatan maupun dalam hal tata kelola harus menjadi perhatian lebih.
Keterlibatan masyarakat secara partisipatif terhadap kondisi lingkungan bersih dan sehat perlu ditingkatkan.
Data BPS setempat menunjukan, perilaku kesehatan masyarakat Banten di antaranya adalah masih banyak proses kelahiran bayi yang ditolong dukun beranak, bukan oleh tenaga medis.
Proses persalinan yang mempunyai risiko tinggi apabila mengalami pendarahan dan infeksi yang tidak tertolong.
Perilaku ini penyebab masih tingginya kasus kematian bayi di Banten terutama di perdesaan.
Alasan mereka memilih tenaga dukun lantaran pelayanannya mudah, dan biayanya terjangkau.
Selain itu, BPS juga menyebut, bahwa penduduk Banten yang mengalami keluhan kesehatan pada 2023 sebesar 27,02 persen.
Artinya dua dari sepuluh penduduknya mengalami keluhan kesehatan.
Meski angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
Kebijakan Pro Kesehatan
Menurut Abraham, kondisi sehat merupakan bagian dari hak asasi individu.
Perwujudannya dijamin oleh negara melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
Bisa jadi, untuk kota-kota di Banten, seperti wilayah Tangerang, Serang dan Cilegon telah mempunyai rumah sakit umum yang bagus.
Namun berbalik dengan daerah lainnya yang memiliki sumber daya kesehatan masih terbatas.
Tentu kesenjangan itu dapat mencedrai rasa keadilan bagi masyarakat.
Dan untuk mengatasi soal kesetaraan kesehatan tersebut dibutuhkan kebijakan pro kesehatan.
Memang untuk membangun fasilitas kesehatan berkualitas membutuhkan investasi mahal.
Seperti untuk peralatan modern, layanan laboratorium, dan sumber daya lainnya.
Pemerintah daerah perlu melakukan mobilisasi dukungan politik dari legislatif dalam urusan anggaran.
Dalam hal politik anggaran, kompromi dengan pihak legislatif jelas diperlukan. Agar tambahan anggaran kesehatan bisa dilakukan.
Tanpa dukungan anggaran, kebijakan kesehatan akan mandeg tidak tercapai.
Penguatan fasilitas kesehatan harus menjadi prioritas dalam pembangunan daerah.
Kemudahan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, berpengaruh terhadap pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Begitu pandangan Abraham soal kesehatan, putra bungsu dari Ananta Wahana politisi kawakan Banten dari PDI Perjuangan.
Abraham terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi Banten di Pemilu 2024 lalu.
Kata dia, urusan kesehatan menjadi salah satu fokus dalam rencana kerja politiknya.
“Dan untuk memenuhi kebutuhan rakyat ini, akan saya ikhtiarkan terus menerus,” ucapnya.
Abraham Garuda Laksono: Ikhtiar Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Banten
Politisi milenial PDI Perjuangan, Abraham Garuda Laksono menyatakan, meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, setara dan berdaya adalah keniscayaan.
Sebagai layanan esensial yang memiliki peran penting menjadi indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah.
Anak dan remaja berusia 3-18 tahun yang berasal dari keluarga miskin ataupun kaya, yang tinggal di daerah terpencil maupun perkotaan tak boleh putus sekolah.
Mereka harus memiliki peluang sama untuk bersekolah, termasuk penyandang disabilitas yang berada dalam situasi kemanusiaan.
Kehilangan pendidikan akan memupus peluang untuk mengembangkan potensi penuh mereka.
Oleh karenanya mengurangi jumlah anak tidak bersekolah harus menjadi prioritas bagi daerah untuk mencapai tujuan pembangunan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan.
“Pendidikan inklusif, berkualitas dan berkeadilan harus terus didorong untuk mencapai pembangunan SDM daerah yang unggul dan berdaya,” ungkap Abraham.
Problem Pendidikan
Anggota parlemen Banten pilihan rakyat di Pemilu 2024 itu menyebut, kendati sektor pendidikan menyedot anggaran terbesar 20 persen APBN.
Namun kualitas pendidikan belum juga beranjak, dan rasa keadilan dalam pendidikan belum merata diterima masyarakat.
Menurutnya, secara umum dunia pendidikan di Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri.
Masih banyak anak di Indonesia yang menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan, terutama di daerah terpencil, pedalaman, atau komunitas miskin.
Minimnya infrastruktur pendidikan di daerah-daerah tersebut menjadi hambatan bagi akses pendidikan yang merata.
Ketimpangan pendidikan daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok sosial ekonomi, masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Fasilitas dan kualitas pendidikan di perkotaan umumnya lebih baik daripada di pedesaan. Anak-anak dari keluarga miskin sering mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan berkualitas tinggi.
Kualitas guru dan tenaga pendidik di Indonesia masih kurang. Pelatihan yang tidak memadai, hingga keterbatasan sumber daya manusia menghambat kualitas pengajaran.
Kekurangan fasilitas dan infrastruktur terjadi. Seperti keterbatasan ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, akses internet yang terbatas, dan sanitasi yang buruk.
Ini dapat mempengaruhi pengalaman belajar siswa dan kualitas pendidikan yang diberikan.
Juga kurikulum pendidikan di Indonesia belum relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan global.
Terlalu banyak muatan teori dan kurangnya pemberdayaan keterampilan praktis dapat menghambat siswa dalam mengembangkan keterampilan yang aplikatif.
“Problem sektor pendidikan ini umumnya terjadi di semua daerah. Harus ada ikhtiar melibatkan berbagai pihak untuk merubah keadaan,” ujar legislator muda usia 23 tahun itu.
Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Abraham berpandangan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan diperlukan kerja bareng eksekutif, legislatif dan semua elemen masyarakat.
Melaksanakan fungsi pendidikan harus dipolakan secara sistematis, terstruktur dan kolaboratif.
Pelibatan masyarakat dan campur tangan swasta diperlukan. Mereka harus diberikan ruang lebih secara partisipatif dalam pengambilan kebijakan pendidikan.
Pemenuhan kebutuhan anggaran perlu dikompromikan pemerintah daerah dengan legislatif untuk menuntaskan persoalan.
Tren alokasi anggaran harus terus didorong menunjukkan peningkatan dan menjadi prioritas.
Melalui dukungan anggaran pendidikan, sekolah rusak diperbaiki, ruang kelas ditambah, dan sekolah baru bisa dibangun merata di setiap daerah.
“Dukungan dana APBD perlu dioptimalkan sebagai alat kemakmuran bersama untuk menghasilkan manusia unggul dan berdaya,” ucap Abraham.
Menurutnya, secara mendasar anggaran pendidikan menekankan pada tujuan, yaitu meningkatkan akses pendidikan, meningkatan kualitas sarana penunjang pendidikan.
Kemudian menguatkan relasi muatan pendidikan dengan pasar kerja, dan pemerataan kualitas pendidikan.
Demikian pandangan Abraham untuk membenahi persoalan kualitas dan ketimpangan pendidikan di ‘Tanah Jawara’.
Menjadi ikhtiar dalam rencana kerja politiknya di parlemen Banten.