Berita  

Pementasan Teater Kubur Angkat Realita Hidup di Kampung Apung

SEMARTARA, Jakarta – Teater Kubur kembali persembahkan pementasan teater berdasarkan hasil riset selama berbulan-bulan mengenai kehidupan Kampung Apung di Kapuk, Jakarta Barat. Pertunjukkan yang menceritakan realita publik ini sengaja menghadirkan dan menata keseluruhan alur cerita penuh semangat.

Pertunjukan yang banyak mengolah gerak ini meminimalisir teks atau ujaran lisan. Hal ini bagian dari ciri khas teater gerak yang kerap dilakukan oleh Dindon. Himpunan Semartara.com, bukan hal baru bagi teater kubur memanggungkan teater gerak seperti itu. Beberapa karya sebelumnya juga berpola serupa.

Instalasi Macet dibuka dengan permainan air yang bunyinya membawa penonton kepada situasi atau kondisi dari lokasi hasil riset, masuklah perempuan yang asyik bergerak dalam sebuah permainan secara sendirian hingga kemudian bebunyian instalasi air yang mendominasi panggung menggodanya untuk bermain dengan air-air yang mengalir itu.

Lalu adegan berubah kepada situasi yang mengajak penonton dalam suatu situasi pembangunan. Beberapa pria bertelanjang dada membentuk formasi dengan alat bantu balok bekas dan kursi kayu. Dari balok-balok yang terhubung satu sama lain di atas beberapa kursi kayu tersebut problematik kampung apung digulirkan.

Tanpa harus cerewet dengan dialog maka narasi kampung apung dibeberkan dalam pergerakan-pergerakan. Satu-satunya bahasa yang terucap saat seorang perempuan lainnya masuk dengan membawa panci sambil memasak di atas kaki seorang lelaki.

Namun kalimatnya pun tidak panjang dan lebih mirip ‘ngedumelnya’ seorang emak. Dari mulutnya terlontar kata macet yang memantik pergerakan baru dari para lelaki yang sedari tadi sudah menguasai teritori terapung itu.

Hingga akhir pertunjukan berdurasi satu jam tak ada lagi bahasa terucap jikapun ada lebih kepada bebunyian seperti menghalau binatang atau membahasakan kata apung seperti nyanyian katak. Bahkan saat kedatangan tokoh berkepala istana dengan bendera dan lampu disekujur tubuhnya, teks bukan lagi alat berbahasa tetapi menjadi penanda suasana atau situasi dan bukan komunikasi verbal.

Menurut Dindon, demi menghasilkan pertunjukan Instalasi Macet ini, ia memulainya waktu riset sejak 2015. “Proses yang terjadi selama dimulainya riset  hingga pementasan malam itu belumlah final, proses ini masih terus berkembang sampai nanti menemui mentoknya,” ujar Dindon saat ditemui seusai pementasan, (14/9).

Sementara menurut Malhamang Zamzam, sutradara Bandar Teater Jakarta, riset Teater Kubur dalam Instalasi Macet ini tidak menyodorkan solusi. “Teater menjadi alat kita bersama dalam mencari solusi atas pembacaan realitas. Dalam konteks yang lebih mendalam ke dunia teater sendiri, program ‘Djakarta Theater Platform’ digagas Komite Teater untuk menjawab kebuntuan dalam teater Indonesia pasca-reformasi,” ujarnya.

Berbeda dengan Afrizal Malna dari Komite Teater DKJ menjelaskan, selain mencari gagasan baru, acara ini juga untuk regenerasi dalam dunia teater Indonesia.

“Bentuk pemanggungan yang belum menjadi pun tidak masalah sepanjang idenya menghadirkan kebaruan,” kata Afrizal.

“Kebaruan juga mengenal batasan waktu,” ujarnya menambahkan.

Selain itu, Amin Kamil juga berpendapat, Teater Kubur berhasil dalam memanggungkan realitas publik. “Terbukti ada banyak penonton yang ternyata juga baru tahu ada sebuah daerah di Jakarta yang terapung dan terkepung dengan seribu janji penuh mimpi. Setidaknya Dindon WS membuka mata publik atas realita,” pungkasnya.

Diketahui, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta menggelar forum Djakarta Theater Platform sepanjang bulan September hingga Oktober di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam gelaran ini tampil beragam grup teater dan aktor dari mancanegara. (Helmi)

Tinggalkan Balasan