Ini kata Pakar Terkait Polemik Iklan di Bioskop

SEMARTARA, Jakarta – Iklan pembangunan bendungan yang ditayangkan Kemenkominfo di bioskop menuai pro dan kontra. Terlepas dari argumentasi yang dibangun dari perspektif kepentingan dari para pihak yang menyampaikan pandangan, realitas ini sekaligus menunjukkan manajemen komunikasi pemerintah masih perlu mendapat perhatian serius dari presiden untuk membenahinya.

Bila ditelisik perspektif yang kontra, iklan tersebut mengemukakan argumentasi sebagai bagian kampanye terselubung dari salah satu kandidat balon capres pada Pilpres 2019. Argumentasi ini bisa saja dipahami karena sudah dalam kurun waktu tahun politik, terjadi setelah pendaftaran paslon kandidat presiden di KPU. Sebab, makna paripurna suatu pesan komunikasi tidak bisa lepas dari konteks dan momentum waktu yang menyertainya.

Demikian diungkapkan Emrus Sihombing, pakar politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, usai menghadiri Diskusi Publik Indonesia Political Review (IPR) yang bertajuk Mengintip Visi Misi Capres dan Cawapres di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (14/9) sore.

Dilanjutkan Emrus, sejatinya Kemenkominfo melakukan komunikasi keberhasilan pembangunan secara teratur, setidaknya per triwulan, sejak 100 hari pemerintahan hingga di ujung masa pemerintahan lima tahunan. Namun, Kemenkominfo sejatinya lebih dahulu mengelola komunikasi pemerintahan yang efektif dan bersinergi antara semua unit humas kementerian dan instansi pemerintah lainnya sebelum memproduksi program komunikasi keberhasilan pembangunan yang akan disampaikan ke publik.

“Sejatinya Kemenkominfo lebih dahulu mengelola komunikasi pemerintahan yang efektif dan bersinergi. Hal ini sangat penting agar tidak muncul ego sektoral unit humas yang ada di setiap kementerian dan instansi pemerintah di bawah presiden,” kata Emrus.

Namun sebaliknya, lanjut dia, yang pro menyebutkan bahwa iklan tersebut bukan bagian dari kampanye, tetapi sebagai kewajiban pemerintah menyampaikan keberhasilan program pembangunan kepada seluruh rakyat Indonesia. Pihak yang pro juga merasa iklan tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kampanye pemilu, siapapun pemimpin pemerintahan.

“Penyampaian keberhasilan dan program pembangunan kepada rakyat sebagai suatu keharusan. Argumentasi ini sangat benar, hanya kurang tepat momentum saja, sehingga memberi peluang menimbulkan polemik. Perlu disadari, dalam manajemen komunikasi, persoalan penciptaan timing penyampaian pesan tidak kalah pentingnya dengan menyusun pesan itu sendiri,” terang Emrus.

Selain itu, dirinya juga menyayangkan bahwa wacana pro dan kontra ini tidak masuk pada masalah substansi. Karena sebenarnya, kata dia, dialektika pro dan kontra ini menjadi produktif jika memperbincangkan dan sekaligus menguji validitas kandungan fakta dan data yang tersaji dalam isi iklan tersebut.

“Jika isi sebuah iklan berdasarkan fakta dan data, tentu tidak ada masalah. Sebab hal itu merupakan kewajiban Kemenkominfo memproduksi iklan untuk menyampaikan capaian-capaian pembangunan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media komunikasi, termasuk di dalamnya media bioskop,” katanya.

Lagi pula, dilanjutkan Emrus, tugas semua kementerian dan instansi pemerintahan di bidang masing-masing untuk menyampaikan  kepada publik apa yang telah dan akan  dikerjakan. Hal ini selaras dengan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban memenuhi hak seluruh rakyat Indonesia untuk mengetahui program pembangunan.

“Lain halnya bila dalam iklan tertentu ada dugaan tidak berbasis fakta dan data. Pada kondisi semacam ini,  perlu dilakukan wacana publik untuk saling menguji validasi fakta dan data dari masing-masing pihak. Data siapa yang benar dan data siapa yang boleh jadi sebagian kurang benar. Jika ditemukan data yang kurang benar dari salah satu atau semua pihak, maka berpotensi sebagai kebohongan publik,” tutur Emrus.

Iklan layanan masyarakat yang berbasis fakta dan data termasuk dari Kemenkominfo yang memproduksi iklan keberhasilan pembangunan. Sejatinya, menurut Emrus, terus digelorakan kapan saja, baik sebelum, sedang dan setelah kampanye politik dalam rangka pemilu. Bahkan tidak hanya melalui media bioskop, namun juga  di berbagai media lainnya.

“Jika iklan tersebut digelorakan kapan saja, maka bisa dimaknai bahwa penyampaian program pembangunan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tahun dan kampanye politik. Jadi, tidak hanya menjelang berakhirnya masa pemerintahan, apalagi mendekati tahun politik,” pungkasnya. (Helmi)

Tinggalkan Balasan