Hari Buruh 2025: Menimbang Keadilan, Kesetaraan, dan Perjuangan

Perjuangan buruh di Hari Buruh 2025: refleksi hak-hak pekerja, tantangan ketidakadilan, dan pentingnya solidaritas dalam dunia kerja.
Peringatan Hari Buruh Internasional 2025.

Opini, Semartara.News — Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei merupakan momentum penting bagi jutaan pekerja di seluruh dunia untuk mengenang perjuangan panjang demi hak-hak mereka. Pada peringatan Hari Buruh Internasional tahun 2025 ini, kita diingatkan kembali akan realitas pahit yang masih banyak dialami para buruh, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, di mana hak-hak dasar sebagai manusia masih sering terabaikan.

Dalam praktiknya, banyak buruh yang tidak memperoleh perlindungan yang seharusnya mereka terima, seperti jaminan keselamatan kerja, pelayanan kesehatan, hak cuti, hingga hak melahirkan bagi pekerja perempuan. Perlakuan tidak adil dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pengusaha atau atasan yang sewenang-wenang kerap mewarnai kehidupan buruh sehari-hari. Kondisi ini bukan hanya melanggar nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga menimbulkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh bangsa.

Ketimpangan upah yang dialami buruh, terutama mereka yang bekerja secara harian atau tidak tetap, seringkali membuat mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka. Sering kali mereka harus menghadapi keterlambatan pembayaran gaji, yang tidak hanya berdampak pada kesejahteraan pribadi, tetapi juga mengancam produktivitas dan motivasi kerja secara keseluruhan. Hal ini semakin diperparah dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang selalu menghantui di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Kondisi ini muncul karena dalam dinamika bisnis modern, kepentingan keuntungan sering kali menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Praktik kapitalisme yang membiarkan eksploitasi tenaga kerja tanpa kontrol yang memadai menciptakan jurang kesenjangan yang semakin melebar antara buruh dan pemilik modal. Akibatnya, produktivitas bangsa terhambat dan ketahanan sosial pun terkikis.

Selain itu, globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat membawa dampak ganda bagi dunia kerja. Di satu sisi, digitalisasi membuka peluang-peluang baru, tetapi di sisi lain, banyak buruh tradisional yang kehilangan pekerjaan atau harus menghadapi persaingan yang tidak sehat akibat otomatisasi dan outsourcing. Tanpa perlindungan yang kuat dari negara dan pengakuan penuh terhadap hak-hak pekerja, mereka menjadi rentan dalam menghadapi perubahan ini.

Selanjutnya, pelanggaran terhadap hak-hak buruh juga menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang serius. Stres akibat tekanan kerja, ketidakpastian ekonomi, dan kurangnya kesejahteraan dapat menyebabkan turunnya kualitas hidup dan kesehatan mental para pekerja. Hal ini tidak hanya merugikan individu dan keluarganya, tapi juga berdampak negatif pada produktivitas dan kualitas pelayanan yang mereka hasilkan.

Maka dari itu, peringatan Hari Buruh bukan sekadar ritual tahunan, melainkan panggilan untuk merefleksikan dan mengokohkan solidaritas antar pekerja. Ini adalah waktu untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan menghormati martabat setiap pekerja. Para buruh bukan hanya pilar ekonomi, tetapi juga fondasi keadilan sosial yang harus dijaga.

Dalam konteks ini, peran negara sangat krusial dalam menetapkan regulasi yang adil dan melindungi hak-hak buruh secara efektif. Kebijakan yang berpihak pada buruh, pengawasan ketat terhadap pelanggaran, serta pemberian pendidikan dan pelatihan kerja yang memadai harus menjadi prioritas untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan manusiawi.

Kita harus menanamkan sikap sabar dan ikhlas, namun juga keberanian untuk memperjuangkan hak dengan cara yang bermartabat. Melalui kesatuan dan perjuangan kolektif yang terorganisir, buruh dapat menuntut perubahan nyata, melawan ketidakadilan, dan membangun masa depan yang lebih adil, manusiawi, dan sejahtera bagi seluruh pekerja. Solidaritas dan kesadaran kolektif ini adalah kunci untuk mengangkat harkat dan martabat para buruh, sekaligus menata ulang tatanan sosial dan ekonomi yang lebih inklusif.

Penulis: Rizki Saputro, S.Hum, Alumni SPI UIN Syekh Nurjati Cirebon, tahun 2025. (*)

Tinggalkan Balasan