GMNI Desak RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas

RUU Perampasan Aset
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino (Foto - Ekslusif)

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GMNI, Arjuna Putra Aldino mendesak agar RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Nasional.

Jakarta, Semartara.News –  44 tahun pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) oleh Yayasan Harapan Kita resmi berakhir dan diambil alih pemerintah. Keputusan pengambilalihan pengelolaan TMII didasari pada beban kerugian hingga Rp 50 milar per tahun, yang dialami pengelola dan tidak berkontribusi pada keuangan negara. Tak lama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga meneken Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Ada utang Rp 108 triliun yang bakal ditagih satgas tersebut.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mengapresiasi langkah pemerintah yang berani mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan kerugian negara dari para pelaku kejahatan yang selama ini tidak berani diusut, salah satunya karena sejumlah pelaku dekat dengan kekuasaan atau masih berkuasa. Namun menurut Arjuna, tindakan tersebut tidaklah cukup. Perlu ada kerangka sistematis untuk membantu upaya pemerintah menyelamatkan keuangan negara. Kerangka tersebut adalah RUU Perampasan Aset.

“Tentu kita apresiasi langkah pemerintah mengambil alih TMII dan pembentukan Satgas Hak Tagih Negara atas dana BLBI. Namun upaya tersebut belumlah cukup, perlu ada kerangka yang sistematis dan jangka panjang, yaitu RUU Perampasan Aset”, tutur Arjuna pada rilisnya ke Redaksi Semartara.News, Senin (12/4/2021).

Menurut Arjuna, perlu ada reformasi yang komprehensif tentang perampasan aset, terutama mengembalikan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana kejahatan ekonomi lainnya. Ditambah perkembangan teknologi yang membuat transaksi ekonomi saat ini tidak mengenal batas negara (borderless), dimana pelaku kejahatan yang terpisah dengan penikmat hasil kejahatan membuat mekanisme hukum pidana konvensional dirasa belum cukup untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari hasil tindak kejahatan.

“Konsep pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung hanya memenjarakan orang, tidak menelisik aliran uang, apalagi jika pelaku pandai menyembunyikan kekayaan hasil korupsinya, maka upaya mengejar aset mengalami kesulitan. Di lain sisi, kerugian negara harus dipulihkan. Terutama membantu pengembalian keuangan negara secara optimal dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, tambah Arjuna

RUU Perampasan Aset bisa menambal sejumlah kelemahan perampasan aset yang selama ini berlangsung banyak mengalami kendala. Banyak terjadi aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman (penjara). Kedua, adanya evolusi tindak kejahatan dimana kejahatan dengan berbagai bentuk rekayasa keuangan atau financial engineering dan rekayasa hukum legal engineering.

Langkah itu ditempuh para pelaku kejahatan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan konvensional.

“Ini tentu mengubah paradigma hukum, paradigma penegakan hukum tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga melalui pengejaran terhadap keuntungan ilegalnya. Hal ini penting mengingat tindak kejahatan sudah bermertamorfosa semakin canggih. Maka instrumen penegakan harus juga ikut diperbaharui”, ujar Arjuna

Poin pentingnya menurut Arjuna, hukum tidak hanya digunakan untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist) dengan masa kurungan atau denda, melainkan merehabilitasi dan merecoverykerugian negara.

Jadi dalam RUU Perampasan Aset menurut Arjuna, fokusnya adalah memperkuat posisi Negara dihadapan para pelaku kejahatan, dan kedua, berfokus pada pengembalian kerugian negara, prinsipnya adalah secara etis apa yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali.

“Dengan RUU Perampasan Aset kita dapat memperkuat posisi negara dihadapan para pelaku kejahatan, dan yang paling penting hasil kejahatan merupakan sesuatu yang tidak boleh dimiliki terus menerus oleh pelaku kejahatan, dan karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak atasnya”, ungkap Arjuna.

Arjuna juga menyampaikan RUU Perampasan Aset sesuai dengan United Nations Convenant Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Selain mengatur beberapa ketentuan tentang kerjasama penanganan tindak pidana korupsi di dunia, UNCAC juga memandatkan kepada negara anggota untuk mengupayakan perampasan aset hasil kejahatan.

Bahkan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC, menurut Arjuna, mengharuskan semua Negara Pihak untuk mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus yang lainnya.

Dalam hal ini, fokus UNCAC bukan hanya pada satu tradisi hukum saja, sebab perbedaan fundamental yang ada dalam setiap tradisi hukum akan menghambat implementasi konvensi. Karena itu diusulkan agar setiap Negara Pihak menggunakan perampasan tanpa tuntuan pidana (Non Conviction Based- NCB) sebagai alat atau sarana – yang mampu melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil korupsi disemua yurisdiksi.

Untuk itu, menurut Arjuna dalam pengimplementasian RUU Perampasan Aset nantinya, pemerintah setidaknya harus menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan sama sekali tidak semata-mata membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset merupakan hasil kejahatan. Artinya kebutuhan akan kebenaran formil atas asal-usul harta kekayaan menjadi fokus RUU Permpasan Aset.

“Jantung dari RUU Perampasan Aset adalah mencari kebenaran formil atas asal-usul harta kekayaan. Sehingga diharapkan upaya pemulihan aset hasil kejahatan dapat diefektifkan”, tutup Arjuna (*)

Tinggalkan Balasan