Berita  

Bonar Tigor Naipospos: Pam Swakarsa Sebagai Alarm Demokrasi

JAKARTA, Semartara.News – Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Idham Azis, pada 5 Agustus 2020 lalu sudah meneken Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa pada.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Indonesia, SETARA Institute menilai pembentukan Pam Swakarsa memperlihatkan watak pemerintah yang semakin mengutamakan penggunaan pendekatan keamanan sebagai jawaban atas berbagai persoalan.

“Penggunaan pendekatan ini menjadi cerminan upaya pemerintah untuk memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang justru memicu alarm demokrasi, karena cenderung membatasi kebebasan masyarakat,” ujar Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam keterangannya, Minggu (20/9/2020).

Bonar mengatakan, Pam Swakarsa yang notabene mengemban fungsi kepolisian secara terbatas, berimplikasi kepada potensi pembenturan sesama masyarakat sipil.

“Potensi ini tentu tidak muncul dengan sendirinya,” katanya

Pertama, ia menjadikan masa reformasi 1998 lalu menjadi contoh. Katanya, Pam Swakarsa kala itu untuk mengamankan Sidang Istimewa di MPR/DPR, kemudian menyerang mahasiswa dan masyarakat yang melakukan aksi di Gedung MPR/DPR.

Kedua, mengacu kepada salah satu tujuan Pam Swakarsa pada Pasal 2 huruf a Perkap No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa yang menyebutkan Pam Swakarsa bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman di lingkungan perusahaan, kawasan dan/atau permukiman.

“Melalui tujuan ini, potensi perbenturan antarmasyarakat sipil atas nama keamanan dan ketertiban berpeluang terjadi pada konteks konflik korporasi dengan masyarakat setempat yang rentan terjadi dan pengamanan demonstrasi mahasiswa, yang tentu saja akan membawa kembali ingatan kita dengan Pam Swakarsa 1998 dahulu saat peristiwa Sidang Istimewa MPR/DPR,” kata Bonar.

Dengan mengacu pada tujuan Pam Swakarsa tersebut, menurutnya, potensi perbenturan antarmasyarakat semakin terlihat dengan keanggotaan Pam Swakarsa yang terbilang luas.

Bukan hanya Satpam dan Satkamling, seperti yang disebutkan pada Pasal 3 ayat (2), tetapi juga yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal berupa Pecalang di Bali, Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Siswa Bhayangkara, dan Mahasiswa Bhayangkara, seperti yang disebutkan Pasal 3 ayat (4) Perkap Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa.

“Pembentukan Pam Swakarsa ini pada dasarnya menimbulkan kontroversi di tengah publik. Pertanyaan umumnya tentu, seberapa tidak amankah kondisi kita sekarang? Mengingat kita tidak berada dalam kondisi darurat yang berkaitan dengan tertib sosial,” keluhnya.

Dengan demikian, Bonar berujar, pada dasarnya justru tidak terdapat urgensi pembentukan Pam Swakarsa.

Lebih jauh, menurut dia, ketiadaan jawaban konkret soal pembentukan Pam Swakarsa hanya akan memunculkan dugaan politik akomodir terhadap institusi alat negara oleh pemerintah akan terlihat jelas, sehingga pendekatan keamanan menjadi primadona pemerintah.

Dasar hukum pembentukan Pam Swakarsa juga dipertanyakan, karena hanya berdasarkan Peraturan Kapolri.

Padahal ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri menyebutkan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa sebagai salah satu Pengemban fungsi kepolisian.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa pelaksana fungsi kepolisian, termasuk pengamanan Swakarsa, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Sementara Peraturan Kapolri tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian menjadi UU No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Perubahan seragam satpam menjadi serupa dengan polisi dan disertai kepangkatan seperti yang diatur dalam Perkap Pam Swakarsa justru berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan baru oleh oknum tertentu, seperti meluasnya razia bodong karena Satpam merasa punya kewenangan layaknya Polri. Potensi ini terbuka terjadi didaerah-daerah yang minim informasi perihal kebijakan ini,” ujar Bonar.

Menurutnya, alasan perubahan seragam agar tumbuh kebanggaan satpam dan dekat dengan Polri tentu tidak memiliki dasar yang kuat, dan subjektif. Sebab, setiap profesi memiliki kebanggaan masing-masing.

“Kebijakan yang secara tidak langsung mengarah kepada integrasi Satpam ke bawah Polri ini justru mengingatkan kita dengan integrasi Polri dibawah atap ABRI dahulu yang memang terbukti tidak efektif lantaran tupoksi yang berbeda dan memicu pelbagai kecemburuan yang tidak konstruktif untuk perkembangan tiap-tiap institusi,” kata dia.

Ketimbang membentuk Pam Swakarsa, menurut Bonar lagi, memastikan agenda reformasi Polri terus berjalan justru lebih penting.

Ia mengatakan, berbagai dugaan praktik penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap warga sipil menjadi cerminan belum tuntasnya reformasi internal Polri.

Praktik-praktik tersebut mencerminkan tengah tumbuh suburnya kultur kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam melakukan proses hukum.

Kata Bonar, berbagai kasus dugaan penyiksaan dan kekerasan oleh kepolisian tersebut justru menjadi sesuatu yang paradoks, karena Polri yang seharusnya memelihara keamanan, memberikan perlindungan, dan pengayoman terhadap masyarakat, tetapi justru markas kepolisianlah yang menjadi tempat tidak aman bagi warga sipil.

“Lebih jauh, berbagai kasus dugaan penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, mencerminkan motto Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya) tinggal sebatas slogan lantaran kondisi di lapangan 180 derajat berbeda,” katanya. (Agung).

Tinggalkan Balasan