Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kompromi politik atau politik akomodatif. Dengan demikian, jika pemerintahan Jokowi – Ma’ruf akan melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS yaitu “berdamai” mencari titik temu dengan kubu HRS.
Saat itu, Presiden Jokowi cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapapun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.
Pasalnya, jika hanya untuk merangkul HRS atau kubu oposisi namanya bukan rekonsiliasi nasional. Karena, rekonsiliasi harus dipandang sebagai kebutuhan kolektif bangsa.
Para elite, khususnya yang menjadi pengelola kekuasaan negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk menyatukan kembali kelompok masyarakat yang mengalami keterbelahan dan pemisahan secara sosial (segregation).
Kohen, (2009) menyebut, rekonsiliasi tidak hanya untuk menyatukan masyarakat terbelah. Lebih dari itu, juga diyakini sebagai sarana penting untuk mewujudkan restorasi keadilan (restoration of justice).
Dalam kerangka mewujudkan rekonsiliasi, mereka berkewajiban tidak hanya menjalankan rekonsiliasi pada level antarindividu dan kelompok yang ada di masyarakat (Moellendorf, 2017: 206).
Lebih dari itu, mereka juga diharapkan mampu membangun kembali tatanan institusional baru yang lebih demokratis dan akomodatif yang mampu menyatukan kembali berbagai jenis individu dan kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut (Moellendorf, 2017: 210).
Merujuk pada istilah rekonsiliasi, pada awalnya istilah ini berkembang sebagai kerangka untuk mengakhiri konflik yang terjadi di sejumlah negara, seperti Afrika Selatan dan di negara-negara wilayah Balkan, baik yang mengalami fase transisi demokrasi maupun konflik etnik, agama, dan kelas sosial yang berujung pada disintegrasi maupun perang sipil, tutup Karyono.