Oleh karena itu, sarikat buruh meminta agar para Gubernur mengabaikan suarat edaran tersebut. Kalau tidak ada kenaikan UMP, bisa dipastikan aksi-aksi buruh akan membesar dan semakin menguat. Apalagi hal ini terjadi di tengah penolakan omnibus law.
“Bisa saja akhirnya kaum buruh mengambil keputusan mogok kerja nasional,” tegasnya.
Dasar Penolakan Buruh
Jika diperlukan, mogok kerja nasional ini dilakukan setelah adanya perundingan sebanyak tiga kali oleh serikat pekerja. Rencananya, perundingan di tingkat perusahaan terkait kenaikan upah minimum dan upah berkala, digelar paling lambat akhir November atau pertengahan Desember 2020. Dalam perundingan tersebut, bisa saja terjadi deadlock. Atas dasar itu, serikat pekerja bisa mengajukan pemberitahuan mogok kerja ke Dinas Tenaga Kerja terkait, akibat gagalnya perundingan kenaikan upah dengan dasar menggunakan UU No 13 Tahun 2003 .
Sedangkan pimpinan cabang hingga pimpinan nasional menggunakan UU No 21 tahun 2000 pasal 4, yaitu, merencanakan dan melaksanakan pemogokan dalam bentuk mogok kerja nasional. Karena, akibat deadlocknya perundingan upah di tingkat perusahaan.
“Mogok kerja ini dilakukan tanpa kekerasan dan memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Adapun keputusan mogok kerja nasional, akan dipertimbangkan secara matang dan tidak sembrono oleh pimpinan nasional serikat pekerja,” tegas Said Iqbal.
“Menaker adalah orang yang paling bertanggung jawab kalau terjadi mogok kerja nasional. Stop produksi serentak di seluruh Indonesia. Itu dibolehkan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003. Berbeda dengan tanggal 6-8 Oktober, yang menggunakan dasar unjuk rasa. Mogok Kerja Nasional akan lebih dahsyat lagi,” lanjutnya. (Rls/AD)