SEMARTARA, Kota Tangerang – Sistem zonasi pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMP Kota Tangerang, kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, jalur zonasi yang diterapkan dinas pendidikan hanya memberi skor level RW domisili sekolah.
“Zonasi hanya memberi keuntungan sepihak, yaitu hanya warga yang berada satu RW dengan letak sekolah. Sedangkan warga yang tinggal di RW sebelah, meski satu kelurahan, harus bersaing dengan 4 kecamatan. Tentunya itu sebuah kerugian,” ungkap Turidi Susanto, Anggota DPRD Kota Tangerang Fraksi Gerindra, Jumat (6/7).
Seharusnya, lanjut dia, sistem zonasi dapat lebih diperluas untuk satu lingkup kelurahan. Sehingga mampu menampung warga di sekitar sekolah. Maka, jika sistem zonasi tersebut diperluas hingga tingkat kelurahan, akan dapat meminimalisir timbulnya gejolak di masyarakat.
“Sebenarnya untuk apa penerapan jalur zonasi, jika hanya menimbulkan ketimpangan di masyarakat,” tukasnya.
Ketimpangan-ketimpangan itu menurutnya, dapat memicu terjadinya aksi di lingkungan masyarakat. Di SMPN 23 Kota Tangerang contohnya, lanjut Turidi, aksi demonstrasi terjadi karena ketidakberuntungan anak yang tinggal berdekatan dengan sekolah, namun tidak dalam satu lingkup RW.
“Warga demo karena beberapa siswa di RW 04 Kelurahan Panunggangan Utara tidak bisa masuk ke SMPN 23. Padahal satu kelurahan, bahkan RW 04 sangat dekat dengan sekolah,” ujarnya.
“Kita sangat menyayangkan ini, karena sekolah itu dibangun di wilayah mereka, di kelurahan mereka. Jadi kalau mereka diterima, saya pikir wajar,” imbuhnya.
Sistem jalur zonasi saat ini, menurutnya, sangat tidak berimbang antara letak sekolah dengan ketentuan skor bagi siswa yang hanya mengandalkan domisili di RT ataupun RW. Ketidakberimbangan dari penilaian skor dalam proses penerimaan siswa ini yang kemudian menjadi masalah di masyarakat.
“Yang disayangkan adalah sistem RT dan RW ini. Ketika satu sekolahan walaupun berdempetan dengan dinding sekolah, namun beda RW, dia harus bersaing dengan 4 kecamatan lain. Contohnya di SMPN 5, hanya 2 orang yang satu RT dan 3 orang satu RW dari 335 siswa yang diterima di online. Jika dipresentasikan cuma 0,59% dan 0,89% kalau di lihat ternyata di SMPN 5 tidak sampai 2% warga sekitar yang masuk, padahal di situ ada warga yang beda RW, nilainya juga lumayan, namun tetap tersingkir,” pungkasnya. (Helmi)