Opini, Semartara.News — Peristiwa teror di SMAN 72 Jakarta bukan lagi sekadar titik awal dari sebuah kemandegan, melainkan telah menjelma sebagai titik puncaknya. Ia ibarat runtuhan yang lahir dari batu-batu kecil yang lama disusun—retakan yang dibiarkan, hingga akhirnya roboh. Peristiwa ini bukan insiden tunggal, melainkan cermin sosial yang memantulkan rapuhnya fondasi dunia pendidikan kita.
Apa yang terjadi dapat dibaca sebagai puncak gunung es dari kemandegan sosial yang berkepanjangan. Ruang dialog semakin menyempit, empati terkikis oleh percepatan zaman, dan kekerasan kerap dipilih sebagai jalan terakhir dalam mengekspresikan kekecewaan yang tak lagi menemukan saluran sehat. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kemandegan sosial telah lama bersemayam dalam kehidupan sehari-hari—dan kini menuntut untuk dipecahkan bersama.
Insiden di SMAN 72 merupakan gambaran ekstrem dari kondisi remaja yang hidup di bawah tekanan berlapis tanpa ruang pelepasan yang memadai. Ketika tekanan emosional tak tertangani, ketika dialog diremehkan, dan ketika sekolah lebih sibuk mengejar angka akreditasi ketimbang kesehatan mental siswa, maka ruang-ruang sosial menjadi mudah retak. Ancaman ekstrem yang muncul hanyalah gejala paling kasatmata dari akumulasi frustrasi, keterasingan, dan kegelisahan yang tak pernah sungguh-sungguh diberi ruang untuk dipahami.
Namun persoalan ini tidak berhenti di lingkungan sekolah. Cara masyarakat merespons peristiwa tersebut—dibanjiri rumor, kepanikan massal, hingga saling tuding—menunjukkan bahwa ketahanan sosial kita pun tengah mengalami pergeseran. Alih-alih menghadapi persoalan dengan kedewasaan kolektif, kita justru memperbesar kegaduhan. Di situlah kemandegan itu tampak jelas: masalah berkembang, tetapi kemampuan kita untuk merespons secara tenang, empatik, dan bijak tidak ikut bertumbuh.
Karena itu, peristiwa di SMAN 72 patut dibaca sebagai panggilan darurat. Bukan semata untuk memperketat pengamanan, melainkan untuk membenahi ekosistem sosial yang jauh lebih dalam. Sekolah perlu mengedepankan kesehatan mental, membangun komunikasi dua arah yang tulus dengan siswa, serta menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendidik, tetapi juga merawat. Orang tua dituntut lebih hadir—bukan sekadar sebagai pengawas, melainkan sebagai pelindung emosional. Masyarakat pun perlu menyadari bahwa generasi muda hidup dalam dunia yang berbeda: tekanannya berlipat, risikonya lebih kompleks.
Jika kita memilih menutup mata, peristiwa serupa hanya tinggal menunggu waktu. Namun jika kita berani membacanya sebagai tanda penting untuk berbenah, maka insiden SMAN 72 dapat menjadi titik balik—sebuah kesempatan untuk menyelamatkan generasi yang selama ini berusaha berbicara, tetapi tak pernah benar-benar didengarkan.
Krisis ini bukan akhir, melainkan undangan untuk membangun Indonesia yang lebih peka, lebih manusiawi, dan lebih mau mendengar. Sebab tidak ada ancaman yang lebih berbahaya daripada masyarakat yang berhenti peduli.
Penulis: Chrystin Lidia Nauli Waruwu
Mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pamulang kampus Serang. (*)







