Jakarta, Semartara.News – Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan krisis politik yang terjadi di Myanmar, Indonesia berkomunikasi dengan ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN, Red) beserta anggotanya untuk mendorong tindak lanjut lima poin konsensus.
Adalah Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi yang mengatakan itu pada pertemuan dengan Perwakilan Tinggi Uni Eropa (EU) untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrell di Jakarta, Rabu (2/6/2021). Pada pertemuan itu, kedua pihak juga mendiskusikan terkait isu Myanmar.
Menlu RI, Retno Marsudi, mengatakan, konsensus harus dijalankan terutama melalui penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, serta komunikasi dengan semua pihak, termasuk dalam rencana kunjungan Sekretaris Jenderal ASEAN dan delegasi Brunei Darussalam sebagai ketua ASEAN tahun ini, ke Myanmar.
“Ini akan merupakan titik awal kerja ASEAN untuk menindaklanjuti lima poin konsensus. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar harus terus menjadi prioritas,” ujar Retno dikutip dari LKBN Antara.
Poin-poin dalam konsensus itu mencakup antara lain, seruan untuk penghentian kekerasan di Myanmar, penunjukan utusan khusus ASEAN, serta penyaluran bantuan kemanusiaan ke Myanmar. Lebih lanjut, Retno menegaskan, bahwa dialog inklusif juga penting untuk didorong guna menyelesaikan krisis politik di Myanmar, dan membawa demokrasi kembali dalam kehidupan politik Myanmar sesuai dengan kehendak rakyat Myanmar.
Sementara menurut perwakilan tinggi EU, Josep Borrell, kepemimpinan Indonesia sangat dibutuhkan untuk mencari solusi atas situasi Myanmar saat ini yang diwarnai protes dan kekerasan menyusul kudeta militer terhadap pemerintah terpilih negara itu pada 1 Februari lalu. “Saya sangat prihatin bahwa situasi di sana belum terpecahkan, tetapi jika seseorang dapat membantu maka itu adalah ASEAN dan Indonesia. Saya yakin Anda akan melanjutkan upaya Anda untuk melindungi dan membantu rakyat Myanmar,” tutur Borrell kepada Retno.
Sejak para pemimpin ASEAN menyepakati lima poin konsensus dalam pertemuan di Jakarta, April lalu, hingga kini perhimpunan itu belum juga menunjuk utusan khusus untuk Myanmar karena perbedaan pendapat di antara negara anggota. Sebuah dokumen kerangka yang dirilis Brunei Darussalam pada bulan lalu, mengusulkan bahwa utusan khusus ASEAN untuk Myanmar ini aktif hingga akhir 2021.
Menurut sumber yang dikutip Reuters, dokumen itu juga mengusulkan pembatasan kewenangan dan tugas utusan khusus tersebut hanya untuk mediasi. Beberapa negara ASEAN tak setuju dengan hal itu lantaran dinilai merusak kedudukan dan pengaruh dari utusan tersebut. Keempat sumber diplomatik mengatakan Indonesia dan Thailand berselisih terkait detail pembentukan utusan khusus ASEAN tersebut.
Indonesia dikabarkan lebih memilih untuk menunjuk satu utusan yang akan memimpin misi soal Myanmar ini. Namun, Thailand yang memiliki kedekatan dengan junta Myanmar-mendorong ASEAN membentuk lebih banyak perwakilan dalam tim utusan khusus tersebut. Sementara itu, sebagian besar negara ASEAN lebih mendukung pembentukan tiga utusan yakni perwakilan dari Indonesia, Thailand, dan Brunei.
Junta Myanmar Menolak
Di samping itu, junta Myanmar menyatakan tidak akan menyetujui kunjungan utusan ASEAN dapat membangun stabilitas di negara itu. “Saat ini, kami memprioritaskan keamanan dan stabilitas negara,” kata juru bicara Dewan Militer, Mayor Kaung Htet San, dalam pengarahan yang disiarkan televisi, awal Mei lalu.
“Hanya setelah kami mencapai tingkat keamanan dan stabilitas tertentu, kami akan bekerja sama mengenai utusan itu,” terangnya.
Kaung Htet San menegaskan, bahwa junta akan mempertimbangkan saran yang telah dicapai dalam pertemuan ASEAN jika itu membantu visi junta untuk negara. Lebih dari 800 warga sipil telah tewas sejak kudeta yang dilancarkan militer Myanmar, menurut angka yang dikutip oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemimpin Junta Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengungkapkan jumlah korban mendekati 300, dan mengatakan tidak mungkin akan ada perang saudara di Myanmar.
Hingga kini, perlawanan atas kudeta terus berlangsung dengan pasukan sipil. Banyak di antaranya membawa senapan sederhana dan pelatihan terbatas, telah dibentuk di beberapa kota dan wilayah Myanmar untuk menentang militer. Warga sipil Myanmar mendukung Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang menurut junta adalah pengkhianatan.