Banten, Semartara.News — Gugurnya Sultan Maulana Muhammad di Palembang untuk membuka jalur perdagangan, membuat tampuk kepemimpinan Kesultanan Banten lowong kala itu.
Tahta penerusnya adalah Pangeran Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqodir.
Pangeran Abdul Mafakhir tidak lantas mempimpin Kesultanan karena masih belia. Setelah melakukan musyawarah, Kerajaan Kesultanan Banten dipegang oleh wali pengasuhnya, Patih Mangkubumi Kesultanan Banten.
Claude Guillot menerangkan dalam buku Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, Pangeran Abdul Mafakhir mendapat gelar sultan pada Tahun 1638.
Sejak saat itulah, dia dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqodir.
Banten menjadi bandar perniagaan
Pada masa perwalian Pangeran Abdul Mafakhir, Kesultanan Banten sudah menjadi bandar perniagaan mancanegara.
Memiliki posisi strategis karena berada di ujung barat Pulau Jawa, menjadi jalur sutera perdagangan internasional antara negara-negara di kawasan Asia Selatan dan China, sebelum Kerajaan Eropa menjamah Nusantara.
Dalam sumber asing yang ada di China berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), menjelaskan dalam Buku Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (2003), Nina H Lubis, nama Banten sebagai tempat yang terletak dalam beberapa rute pelayaran. Tanjung Sekong – Gresik – Jaratan Banten – Timor Banten – Demak : Banten – Banjarmasin : Kreung (Aceh) – Barus – Pariaman – Banten. Rute pelayaran ini dibuat oleh Mao’k’un sekitar tahun 1421.
Jelas bahwa ketika Portugis datang pada 1512, tempat itu sudah bernama Banten, meskipun penyebutannya “Bautan”.