SEMARTARA, Banten – Status kepemilikan Pulau Sangiang menuai konflik antara masyarakat perhutani, PT Pondok Indah Kalimaya, dan Green Garden. Konflik agraria tersebut dikarenakan adanya pihak yang berupaya memperebutkan status kepemilikan pulau tersebut.
Dikhawatirkan, ada kemungkinan pihak lain yang juga ingin memperebutkan pulau tersebut, sehingga memperluas konflik yang sampai kini belum terselesaikan sejak 2013 lalu. Bahkan, diprediksi akan semakin bertambah oknum-oknum yang ingin menguasai dengan memanfaatkan momentum ini.
Konon katanya, Pulau Sangiang merupakan wilayah yang dahulu berada dalam kekuasaan Raja Lampung. Hingga pada suatu waktu, Ratu Lampung memberikan pulau tersebut sebagai hibah kepada masyarakat lampung yang memilih tetap tinggal di wilayah banten.
Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Banten, Muhibbudin mengatakan, masyarakat bersama mahasiswa dan Agra Banten terus berupaya mendapatkan kembali hak masyarakat sebagai tanah rakyat, dan hal ini sudah dilakukan oleh pihak agra sejak 2013 lalu.
Ia menjelaskan, masyarakat yang bertempat tinggal di empat lokasi wilayah Desa Cikoneng ini adalah Kampung Bojong, Kampung Bubur, Kampung Tegal dan Kampung Cikoneng. Kata Budin, warga berkali-kali mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan untuk meminta solusi. Namun, belum pernah sekalipun pemerintah yang berkaitan di wilayah setempat menanggapi kehadiran warga.
“Tahun 1983, pulau ini diubah menjadi cagar alam. Nah saat itu mulai terjadi konflik, warga tidak terima dijadikan cagar alam, karena (status) tanahnya Ulayat. Sekarang status nya di ubah menjadi taman wisata alam,” ujarnya, saat kegiatan panggung budaya dan solidaritas rakyat di Pulau Sangiang.
Sementara Kepala Desa Cikoneng, Nurwahdini menyampaikan, bahwa penduduk yang berjumlah ratusan di pulau tersebut terancam dan terusir dari tanah kelahiran padahal sudah di tempati para pendahulunya sejak ratusan tahun lalu. “Kurang lebih sejak jaman Kesultanan Banten dan Kerajaan Lampung berdiri,” katanya.
“Status tanah merupakan tanah Ulayat dari Kerajaan Lampung, tiba-tiba berubah memiliki sertifikat dan sudah terbagi-bagi. Yang kita tahu tanah Ulayat diberikan oleh kerajaan Lampung. (Surat Ulayat) aslinya ada tulisan Lampung, dihibahkan untuk masyarakat,” imbuhnya. (B1/Yu)