Jakarta, Semartara.News – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Kesehatan, Perempuan dan Anak, Sri Rahayu, menyatakan pihaknya mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera dibahas dan disahkan oleh Pemerintah serta DPR. Aturan itu bukan sekedar untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dari kejahatan seksual, namun juga mengatur kedudukan korban yang harus dilindungi secara fisik maupun mental.
Hal itu disampaikan oleh Sri Rahayu dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” pada Kamis (10/9/2020), yang dilakukan secara virtual.
“Ketua Umum kami Ibu Megawati Soekarnoputri selalu concern dan mengatakan betapa pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, sangat urgen dan harus segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang,” kata Sri Rahayu.
Lanjutnya, Megawati Soekarnoputri yang juga Presiden RI Kelima itu juga menaruh perhatian khusus terhadap maraknya kasus kekerasan seksual. Apalagi sejak adanya pandemi COVID-19, kasus kekerasan terhadap perempuan justru semakin meningkat. “Bagi Ibu Megawati, kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah kemanusiaan,” tukasnya.
Selain itu, harapan yang sama juga disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Sebab kementerian yang dipimpinnya melihat situasi dan kondisi Indonesia terkait kekerasan seksual, bukan lagi hal ringan. Negara harus segera menanganinya.
Menurut Rahayu, pihaknya berharap UU PKS menjadi undang-undang lex specialis alias bersifat khusus terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual. Kira-kira sama seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk pelaku korupsi.
“Ini untuk menghapuskan kekerasan seksual, terutama terhadap anak. Bukan hanya kekerasan terhadap anak perempuan tapi juga anak laki-laki. Sebagai orang tua, kita prihatin dan sedih jika ada kekerasan terjadi pada anak kita,” kata Rahayu.
Ditegaskan Rahayu, pihaknya mendorong agar RUU PKS tidak hanya dibentuk untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan maupun kejahatan seksual saja. Lebih dari itu, RUU PKS juga mengatur kedudukan korban yang harus dilindungi baik secara fisik maupun mental.
“Karena banyak kejadian yang menjadikan perempuan dan anak sebagai objek kejahatan seksual. Padahal, perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang seharusnya dilindungi,” tegasnya.
Berdasarkan data dari Kementerian PPPA periode 1 Januari-24 Juli 2020, kekerasan terhadap perempuan dewasa sebanyak 3.020 kasus dengan 3.059 korban kekerasan seksual sebanyak 432 orang. Kekerasan terhadap anak sebanyak 4.116 kasus dengan 4.615 korban. Adapun korban kekerasan seksual bagi anak berjumlah 2.556 korban.
Komnas Perempuan juga mencatat kekerasan psikis dan fisik masih mendominasi di ranah privat. Sedangkan kekerasan seksual masih tinggi di ranah publik dan negara. Kajian ini menemukan kekerasan terhadap perempuan berbasis online yaitu sebanyak 129 kasus atau sebanyak 11 persen yang didominasi pengancaman bernuansa kekerasan seksual.
“Kami harap masyarakat solid mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan. Ke depan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat menjadi perhatian dan kerja bersama seluruh bangsa Indonesia,” urai Wakil Ketua Komisi IX DPR itu.
Pada kesempatan itu, Sri Rahayu juga mengatakan pihaknya mendorong pemerintah daerah menganggarkan secara khusus anggaran pendamping terkait kasus kekerasan seksual pada anak.
“Kita harap semua bisa berjalan lancar antara pusat dan daerah, terutama dalam menangani kekerasan seksual pada perempuan dan anak,” ujar Sri Rahayu.
“Kita harus mengingat bahwa anak adalah generasi penerus bangsa Indonesia. Mari kita buktikan komitmen kita dalam perlindungan anak,” pungkasnya.