Berita  

SMRC: MAYORITAS WARGA TETAP DUKUNG SUPREMASI SIPIL DI ATAS MILITER

Foto: Saiful Mujani/wikipedia

Jakarta, (23/08) Semartara.News – Mayoritas warga Indonesia tetap mendukung supremasi sipil dalam pemerintahan Indonesia. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan mayoritas warga mendukung supermasi sipil (71%), dan mayoritas warga mendukung bahwa TNI harus di bawah komando dan kontrol kepala negara (Presiden) yang dipilih rakyat (76%).

Temuan itu disampaikan Pendiri SMRC, Saiful Mujani, Ph.D, saat mempresentasikan hasil survei nasional SMRC bertajuk “Kondisi Demokrasi di Masa Covid-19” pada Minggu, 23 Agustus 2020 di Jakarta. Survei Nasional tersebut dilakukan pada 12-15 Agustus 2020 dengan melibatkan 2202 responden yang diwawancara per telepon dipilih secara random. Margin of error diperkirakan +/-2.1%.

Menurut Saiful, survei ini dilakukan mengingat laporan evaluatif lembaga kajian internasional V-Dem (Varieties of Democracy Institute) menunjukkan Covid-19 berdampak negatif terhadap banyak negara demokratis. Sebelum Covid-19, sepertiga negara demokratis di dunia mengalami kemunduran berdemokrasi, dan dengan merebaknya Covid-19 kemunduran tersebut bertambah laju dan meluas.

“Penurunan pada kepuasan atas kinerja demokrasi terkait dengan penurunan di bidang keamanan dan ketertiban, serta penurunan tajam dalam ekonomi nasional pada masa pandemi,” kata Saiful.

Menurut rangkaian survei SMRC, mayoritas warga Indonesia (82%) saat ini menilai kondisi ekonomi Indonesia memburuk. Penilaian terhadap keamanan dan ketertiban pun cenderung menurun. Survei SMRC menunjukkan bahwa 42% warga menganggap pemerintah belum bisa melindungi warga dari ancaman keamanan, sementara 52% menganggap bisa. “Walau 42% bukanlah angka mayoritas, namun itu menunjukkan persentase yang signifikan,” ujar Saiful.

Karena itu SMRC berusaha mempelajari apakah kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi kepercayaan publik pada demokrasi, yang antara lain diukur oleh penilaian mengenai keterlibatan militer dalam kepemimpinan nasional.

“Dalam demokrasi, keputusan-keputusan strategis harus dibuat oleh pejabat publik dari kalangan sipil yang dipilih secara demokratis,” ujar Saiful. “Karena itu dikenal konsep supermasi sipil.”

Begitu juga keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum di dalam sebuah negara demokratis, menjadi tugas inti kepolisian, bukan tentara. “Tentara adalah kekuatan profesional,” ujar Saiful, “yang tugas utamanya adalah kekuatan bersenjata untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional terutama dari ancaman kekuatan bersenjata yang lain.”

Survei SMRC menunjukkan bahwa di tengah Covid-19 warga tetap percaya pada supermasi sipil dan profesionalisme TNI.

Survei menunjukkan mayoritas warga mendukung supermasi sipil (71%), dan mayoritas warga mendukung bahwa TNI harus di bawah komando dan kontrol kepala negara (Presiden) yang dipilih rakyat (76%).

Sekitar 74% warga setuju bahwa TNI secara khusus bertugas untuk menjaga keamanan nasional dari ancaman luar negeri dan dari dalam negeri dalam keadaan darurat keamanan yang dinyatakan oleh pemimpin negara. Hanya 16% yang tidak setuju.

Demikian pula mayoritas warga (57%) setuju TNI tidak boleh terlibat dalam masalah keamanan dan ketertiban apapun dalam masyarakat. Hanya 31% yang tidak setuju.

Sejalan dengan itu, sekitar 59% publik setuju bahwa semua urusan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum dalam masyarakat adalah tugas Polri. Hanya 32% yang tidak setuju

Di sisi lain, survei SMRC juga menunjukkan bahwa sebenarnya ada peningkatan persentase warga yang mendukung pemimpin otoriter, antara sebelum dan sesudah wabah Covid-19. Kepada responden ditanya apakah mereka akan mendukung pemimpin yang tak dipilih rakyat, yang tak dikontrol DPR, yang menghapuskan pemilihan umum?

Sebelum Covid-19 yang mendukung pemimpin demikian hanya 7%. Setelah masuk masa Covid-19 dukungan pada otoritarianisme itu naik menjadi 12%.

Kepada responden juga ditanya apakah akan mendukung tentara aktif memimpin pemerintahan. Sebelum masa Covid-19 dukungan pada pemerintahan di bawah kepemimpinan tentara aktif mencapai 24%. Setelah masuk masa Covid-19 dukungan pada rezim demikian naik menjadi 31%.

“Jadi secara umum publik masih mendukung demokrasi,” ujar Saiful, “tapi Covid-19 menurunkan tingkat dukungan tersebut secara signifikan walau tidak sampai ke titik di bawah angka psikologis 50%. “

Tinggalkan Balasan