Revisi UU Pemilu di Indonesia pascareformasi bukan merupakan hal baru. Sudah menjadi kebiasaan DPR sebelum pelaksanaan pemilu, perangkat peraturan penyelenggaraannya direvisi dengan alasan mengikuti perkembangan kondisi aktual bangsa.
Proses revisi aturan pemilu pun menyasar banyak poin, salah satunya terkait dengan aturan penyederhanaan jumlah partai politik untuk menciptakan sistem demokrasi presidensial yang efektif, salah satunya dengan membuat aturan terkait electoral treshold pada Pemilu 1999 dan 2004, serta ambang batas parlemen mulai Pemilu 2009 hingga 2019.
Pascareformasi, sistem demokrasi Indonesia berubah total dengan munculnya sistem multipartai dalam politik Indonesia, misalnya pada Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Namun, dalam perkembangannya, sistem multipartai tersebut diimbangi dengan adanya aturan terkait dengan penyederhanaan jumlah partai yang dapat lolos ke parlemen.
Hal itu untuk menciptakan sistem politik yang efektif di parlemen dan caranya dengan mengatur jumlah ambang batas parlemen dalam tiap revisi UU Pemilu.
Pada Pemilu 1999, mengenal electoral threshold atau ambang batas peserta pemilu yang menjadi syarat minimal harus diperoleh untuk untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Sistem electoral threshold atau ambang batas peserta pemilu yang menjadi syarat minimal harus diperoleh untuk untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Dalam UU No. 3/1999 disebutkan bahwa parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2 persen dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten/kota.
Peraturan mengenai ambang batas peserta pemilu ini berlanjut pada Pemilu 2004 dengan UU No. 12/2003 yang menyebutkan partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila memperoleh minimal 3 persen jumlah kursi DPR, 4 persen jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia, dan 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Penerapan sistem electoral threshold tersebut dinilai tidak efektif untuk menyederhanakan jumlah partai politik di Indonesia karena lebih baik jumlah ideal kekuatan parpol yang perlu dirampingkan di parlemen daripada membatasi jumlah parpol peserta pemilu.
Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU No. 12/2003 yang kemudian menghasilkan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam UU tersebut masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya. Namun, melalui aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Aturan tersebut mulai diterapkan pada Pemilu 2009, saat itu parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Pada Pemilu 2014, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD yang diatur dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, setelah aturan dalam UU tersebut digugat 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menetapkan ambang batas 3,5 persen tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.
Pada Pemilu 2019, aturan ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 4 persen, hasil revisi UU No. 8/2012 dan tertuang dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Dengan syarat ambang batas parlemen sebesar 4 persen tersebut, partai politik yang berhasil memenuhi parliamentary threshold sebanyak 9 parpol, dari 16 partai peserta Pemilu 2019.
Penyempurnaan UU Pemilu pun dilakukan kembali untuk UU No. 7/2017 tentang Pemilu, hasil revisi yang dilakukan DPR RI, pemerintah, dan DPD RI terhadap paket UU Pemilu, yakni UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota Legislatif, UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta UU No. 15 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Pemilu.
Langkah revisi tersebut terkait dengan keputusan MK pada tahun 2014 yang mengabulkan pengujian UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang dikomandani Effendi Gazali.
Pemohon menganggap pemilu anggota legislatif (pileg) dan Pilpres yang dilakukan terpisah itu tidak efisien (boros) yang berakibat merugikan hak konstitusional pemilih.
Pemohon juga mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential cocktail dan political efficacy (kecerdasan berpolitik).
Dampak putusan MK tersebut menyebabkan parlemen dan pemerintah harus membahas sebuah UU yang dapat mengatur regulasi secara sekaligus terkait dengan pilpres, pileg, dan penyelenggara pemilu.
Revisi ketiga UU tersebut bertujuan menyederhanakan sistem pemilu di Indonesia pada tahun 2019, masyarakat secara serentak memilih presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.
Pemerintah pun menyusun draf RUU, lalu di parlemen dibentuk panitia khusus (pansus) yang membahas RUU tersebut. Dalam perjalanannya terjadi dinamika dan perdebatan terkait dengan isu-isu krusial, seperti ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden, kuota suara per daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara.
Akibat perbedaan pandangan terkait lima poin krusial tersebut, beberapa kali rapat di tingkat pansus untuk pengambilan keputusan harus ditunda dan pada akhirnya Pansus Pemilu menyepakati pengambilan keputusan terhadap lima isu krusial yang hingga saat ini, belum selesai melalui lima opsi sistem paket.