SEMARTARA – Setiap masa ada cerita. Namun, acap kali cerita itu berubah-untuk tidak mengatakan diubah-menjadi tutur tinular lantaran tak terekam dengan baik. Kekosongan upaya merekam cerita ini dieksporasi seniman serba bisa Edi Bonetski melalui beragam karya seni dalam pameran tunggalnya di Balai Budaja, Jalan Theresia, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Berlembar-lembar koran berhamburan di lantai. Sebentuk jalur, koran itu mengular bermuara pada sebuah koper yang terbuka.
Koran berkertas kuning pudar itu berisikan cerita manusia masa ke masa. Edi Bonetski mengulas remah-remah cerita manusia itu kepada salah satu pengunjung pamerannya, Senin (29/7/2019) malam kemarin. Salah satu karya seni instalasi dalam pameran bertajuk ‘Olah Organisme Visual’ itu mejeng di tengah ruang pameran.
Sekali lagi, seniman asal Tangerang tersebut menegaskan eksistensinya di tengah masyarakat. Melalui pameran itu, Edi seolah mengajak masyarakat mengarsipkan keseharian bukan hanya sebagai cerita namun sebagai monumen hidup.
“Keseharian kita adalah cerita, arsip, sejarah, monumen hidup dan itu semua manusia punya itu, hanya tidak diolah secara organisme tubuh. Bagaimana saya dengan mata, telinga, hidung, kaki, tangan mengorganisir indra supaya berbuat visual, merekam arsip,” terang Edi.
Selain karya seni instalasi, Edi juga memamerkan karya visual bermedium kanvas sebanyak 33 serta 47 poster inisiatif publik. Pameran yang ditutup Senin (28/7/2019) itu berlangsung sejak 21 juli. Sejumlah kalangan menghadiri pameran tunggal kesembilan Edi tersebut.
Salah satu pengunjung asal Tangerang, Pei mengungkapkan, tumpukan simbol dan idiom yang Edi munculkan terkait erat dengan kontekstual masanya meskipun terkadang tak terkait realitas.
“Menurut saya ini adalah bagian atau fragmen keseharian dari Edi Bonetski ketika ia berperan sebagai aktifis pendidikan, entah latar belakang dia sebagai musisi dan dia dengan energinya yang luar biasa sehari bisa membuat beberapa karya dari apa yang ada di kepalanya,” jelasnya. (irfan)