Berita  

Seni Musik Nusantara, Beda Lagu Beda Kasta

Seni Musik Nusantara
Peneliti di Rumah Sinergi Research and Consulting, Sukran Ichsan S. Sos MA

Jakarta, Semartara,News – Membicarakan soal seni musik Nusantara, sama dengan membicarakan soal manusia. Bukan saja karena seni merupakan hasil tindakan manusia, namun juga karena dalam seni terkandung refleksi tentang relasi antara manusia dengan alam semesta, serta relasi antar manusia. Bahkan dapat dikatakan seni itu sendiri merupakan tindak refleksi manusia.

Di dalam seni dan lewat berkesenian manusia mengokohkan, mempertanyakan, atau menawarkan berbagai kemungkinan posisi kemanusiaannya. Oleh karenanya, jagad seni adalah jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika tiada henti yang hanya akan berakhir pada saat sirnanya manusia dari atas bumi (Lono Lastoro simatupang jagad seni: refleksi kemanusian).

Seni berwujud dalam banyak bentuk, musik salah satunya. Dalam kata tersebut, konon terkandung nilai-nilai universal yang dapat diterima semua manusia di dunia sebagai bahasa pemersatu melewati sekat politik dan agama misalnya. Kita ingat, ketika Haiti (dan Padang) porak-poranda oleh Gempa dan menelan banyak korban, para penyanyi dunia melantunkan “We Are The World” karya Michael Jackson untuk mengangkat moral korban sekaligus mendonasikan keuntungannya. Pada tingkatan ini, musik memberikan sumbangsih kemanusiaannya melewati batasan ras, agama, negara, bangsa serta kelas. Namun, hal menyatukan tersebut nampak ketika ada momen tertentu (bencana).

Seni musik Nusantara, selama ini dalam kacamata masyarakat umum, dianggap ‘hanya’ sebagai media yang memainkan emosi. Membawa kesenangan, menciptakan kegembiraan, menghilangkan rasa suntuk, termasuk meluapkan melankoli. Kebudayaan manapun di muka bumi ini selalu menempatkan musik sebagai salah satu bagian dari tradisi ataupun kebiasaannya.

Melihat lebih jauh lagi misalanya di kota Ternate, Ternate adalah  salah satu kota di propinsi Maluku Utara. Seni, dalam hal ini musik, juga merupakan sarana populer yang digunakan warga sebagai alat ekspresi diri dan kelompok. Dimana pada tingkat tertentu, tanpa terlampau disadari oleh warga, menyimpan kekuatan untuk menyatukan sekaligus membedakan selera musik antara satu dengan yang lainnya.

Refleksi ini akan menampakkan sketsa mengenai musik dan bagaimana ia dalam wajahnya yang ambigu, dapat menyatukan namun juga membedakan kelompok masyarakat tersebut. Sekaligus juga mendeskripsi secara sederhana, bagaimana musik secara hidden menjadi penanda kelas, penanda disharmoni pada masyarakat itu sendiri.

Selerah musik dalam hal ini menjadi pembeda, penanda sekaligus pemisah komunitas. Ia memberikan label ‘selera rendah’ pada penyukanya, sekaligus secara implisit dan bertolak belakang menggolongkan yang berselera ‘tinggi’. Musik yang sering ditemui di angkutan umum seperti  lagu-lagu pop melayu, dangdut dan pop Indonesia populer selalu diidentikkan dengan orang kelas bawah, dan itu bermakna merendahkan. Sementara, yang berselera tinggi, para penduduk yang menyukai musik-musik hip-hop amerika, atau band-band barat dan lain sebagainya.

Pertunjukkan di diskotik juga mengikuti menjadi salah satu faktor dalam menentukan selerah musik. Diskotik selalu identik dengan high class, mahal, penikmatnya anak muda, orang berpunya, pelayannya wanita muda cantik dan masih ‘fresh’, musiknya adalah musik barat atau Indonesia berkelas dan sangat anti dengan pop-melayu dan dangdut. Hal yang lebih terlihat jelas yaitu kegiatan  dilakukan  dengan memasang tenda dan memasang sound system besar, di halaman rumah atau tanah lapang sekitar kampung dan lagu-lagunyapun lagu pop-melayu dan dangdut.

Perbedaan selerah musik ini semakin nampak dalam kalangan masyarakat itu sendiri sehingga dalam komunitas-komunitas tersebut dan saling mengklaim tentang selerah tersebut. Akhirnya kesepakatan-kesepatakan inilah yang membuat perbedaan yang begitu nampak di masyarakat. Hal ini bisa kita lihat di Indonesia saat ini Tidak heran, perkembangan industri musik di Indonesia saat ini sangat pesat.

Band-band baru banyak bermunculan. Beragam gaya dan karakter mereka tonjolkan untuk meraih simpati masyarakat. Walaupun tidak dipungkiri, secara kualitas bermusik masih banyak band yang patut dipertanyakan. Bahkan banyak band yang mengorbankan idealis bermusik mereka demi mengejar kebutuhan pasar di Indonesia.

Saat ini modal utama sebuah band untuk terkenal di Indonesia adalah memiliki lagu yang mudah dicerna, didengarkan oleh masyarakat. Untuk permainan musik sendiri adalah nomor sekian. Memang masih banyak band yang masih mempertahankan kualitas bermusik mereka, terutama band-band yang telah lama malang-melintang di industri musik Indonesia. Mereka layak disebut sebagai musisi sejati.

Fenomena identitas sosial dalam dunia seni ini menunjukkan bagaimana kecenderungan selera dan kebiasaan menikmati musik dapat dimanfaatkan dan memainkan peran sebagai penanda perbedaan. Dalam realitas, ini bisa dimaknai secara dikotomis, ada komunitas tertentu yang dianggap berselera rendah juga tinggi. Sekaligus, disisi yang sama, menunjukkan adanya konflik internal. Walaupun kenyataan ini mengenyampingkan semangat kesetaraan, namun tetap saja realitas tak bisa disangkal, bahkan ketika ia bergerak dalam ruang-ruang tanpa sadar.

Hal ini menunjukkan, fenomena sosial suatu masyarakat jika diamati dengan seksama tidak hanya singular, tetapi plural, dialektis, dialogis dan selalu harus dipertanyakan. Wacana identitas ini, dalam beberapa kesempatan secara sadar dan berbau politis, bisa dimanfaatkan untuk banyak kepentingan.

Musik meruapakan suatu alunan yang indah didengarkan, musik adalah obat penenang bagi sebagian orang hal inilah yang membuat siapa saja bisa memilih lagu yang sesuai dengan suasana hati. Dengan demikian maka musik bukan masalah selerah rendah ataupun selerah yang tinggi melainkan musik adalah satu instrumen yang bisa menenangkan hati dan bisa membuat kita nyaman ketika mendengarkan alunan-alunan instrumen yang ada.

Oleh Sukran Ichsan, Alumni di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Tinggalkan Balasan