Dalimin akhirnya mencoba meingat-ingat kebiasaan ibu negara. “Saya punya firasat, Ibu Fat masih di sekitar Istana Cipanas. Karena itu saya lalu pergi ke arah belakang Istana, naik melalui jalan setapak yang kondisinya agak licin,” kata Dalimin, dikutip Kadjat.
Di dataran yang agak tinggi Dalimin akhirnya menemukan Fatmawati sedang duduk menyendiri menghadap sungai kecil. Alih-alih melaporkan ke presiden, Dalimin pilih mendekat ke tempat Fatmawati berada. Sapaan dan pemberitahuannya kepada Fatmawati tak sedikitpun mendapat tanggapan. Ibu negara diam seribu bahasa.
Tak berapa lama kemudian, Dalimin mendengar namanya dipanggil presiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia pun segera menampakkan diri agar terlihat oleh presiden dan memberi isyarat bahwa orang yang dicari-cari berada di dekatnya. Usahanya itu langsung mendapat balasan acungan jempol dari sang presiden. Dalimin pun menyaksikan adegan saat presiden merayu ibu negara beberapa saat kemudian.
Upaya presiden mengajak pulang Fatmawati tak berhasil. Fatmawati berkeras hati tetap tinggal di tempatnya. Hati Fatmawati baru luluh ketika Sukarno mengatakan, “Mas perhatikan Fat masih pucat. Ayolah ikut Mas kembali ke rumah! Mas bimbing ya?” Tangis Fatmawati pun pecah.
Tangis Fatmawati itu membuat Sukarno langsung memanggil Dalimin. “Kuperintahkan pengawal membawa kursi ke sini,” kata Sukarno pada Dalimin.
“Siap, Pak. Untuk apa, Pak?”
“Untuk menandu Ibu Fatmawati!”
Ketika Dalimin dan dua anak buahnya kembali beberapa saat kemudian sambil membawa kursi, Sukarno membantu mendudukkan Fatmawati yang masih lemas di kursi itu. Sambil terus menangis di kursinya, Fatmawati lalu ditandu Dalimin dan dua polisi anak buahnya kembali ke istana. “Terlalu banyak kenangan yang Ibu alami dan rasakan, yang jika diceritakan satu persatu serasa tidak ada habisnya,” kata Fatmawati.
dikutip dari historia.id