Opini  

Resesi Batin: Ketika Ketidaksetaraan Ekonomi Menggerus Kesehatan Mental Wanita dalam Hubungan

Ketimpangan ekonomi dalam hubungan asmara menekan mental perempuan, menggerus cinta, dan memaksa pilihan pahit demi harga diri.
Irma Permatasari. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Cinta kerap dielu-elukan sebagai kekuatan yang sanggup menembus batas kelas, status, dan kepemilikan. Namun dalam kenyataan relasi, cinta tidak selalu sekuat narasi romantiknya. Tak jarang, ketidaksetaraan ekonomi justru menjelma menjadi tembok sunyi yang perlahan meredupkan batin, terutama bagi perempuan. Pertanyaannya menjadi mendesak: sejauh mana sebuah hubungan dapat disebut sehat jika salah satu pihak harus terus hidup dalam rasa rendah diri, kecemasan, dan ketakutan akan masa depan yang diukur oleh angka-angka materi?

Pada fase pacaran, jurang ekonomi sering kali tidak hadir sebagai perbedaan nominal semata, melainkan sebagai beban psikologis yang menetap. Perempuan yang mencintai pasangan dengan latar ekonomi jauh lebih mapan kerap terjebak dalam pusaran insecurity yang kronis. Setiap undangan ke ruang-ruang bergengsi, setiap percakapan tentang gaya hidup, berubah menjadi cermin penghakiman diri. Ia mulai merasa “tidak selevel”, takut menjadi beban, dan perlahan kehilangan kepercayaan pada nilai dirinya sendiri. Di titik inilah “resesi batin” bermula: kegembiraan mencinta digantikan oleh kecemasan, dan kasih sayang berubah menjadi sumber stres yang berlarut.

Ironisnya, tekanan terberat sering kali tidak datang langsung dari pasangan, melainkan dari bayang-bayang keluarga besar. Restu yang seharusnya menjadi peneduh justru menjelma momok. Ketakutan akan dicap sebagai “pengincar harta”, tidak pantas, atau sekadar pelengkap, membuat perempuan merasa harus terus berjaga. Ia tak lagi hadir sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai sosok yang bersandiwara—menyembunyikan ketulusan di balik topeng kewaspadaan. Dalam jangka panjang, kondisi ini menggerogoti kesehatan mental hingga ke titik paling rapuh.

Tak mengherankan jika banyak perempuan akhirnya mengambil keputusan yang tampak kejam, namun sejatinya penuh keberanian: mengakhiri hubungan. Bukan karena cinta telah padam, melainkan karena jiwa tak lagi sanggup menanggung luka yang sama setiap hari. Menjauh terasa lebih menyelamatkan daripada terus hidup dalam ketakutan akan penolakan dan penghakiman ekonomi yang tak pernah usai. Ini bukan kekalahan, melainkan mekanisme bertahan dari dunia yang terlalu sering mengukur nilai manusia lewat stabilitas finansial semata.

Di sinilah pendidikan moral dan nilai keluarga seharusnya memainkan peran yang lebih luhur. Relasi tidak boleh direduksi menjadi transaksi status, apalagi seleksi ekonomi. Tanpa empati dan kematangan nilai, cinta kehilangan fungsinya sebagai ruang pertumbuhan, dan berubah menjadi medan pembuktian kelas sosial. Cinta yang mencerdaskan justru adalah cinta yang memerdekakan—membebaskan individu dari rasa takut akan asal-usul dan kepemilikan.

Sudah waktunya kita menata ulang cara pandang terhadap hubungan dan restu keluarga. Masyarakat perlu memberi ruang bagi kasih yang menilai integritas, bukan sekadar isi rekening. Keluarga seharusnya kembali menjadi tempat aman bagi ketulusan, bukan gerbang seleksi yang dingin dan melukai. Hubungan yang sehat bukanlah yang paling mewah tampilan luarnya, melainkan yang paling mampu membuat kedua insan merasa setara, dihargai, dan utuh sebagai manusia.

Pada akhirnya, cinta yang paling melelahkan adalah cinta yang membuatmu merasa kecil di hadapan angka-angka. Ingatlah: ketulusan adalah aset yang tak pernah bisa dibeli oleh kekayaan mana pun. Jika melepaskan adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan cahaya yang mulai redup, maka pergilah dengan kepala tegak—sebab hati yang jujur terlalu berharga untuk ditukar dengan restu yang hanya memuliakan harta.

Penulis: Irma Permatasari, Mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Pamulang. (*)

Tinggalkan Balasan