Pupuk Indonesia, Ananta Wahana: Agar Harga Tetap Kompetitif Perlu Efisiensi dalam Proses Produksi

SEMARTARA – Anggota Komisi VI DPR RI, Ananta Wahana, mendorong agar industri pupuk dalam negeri bisa mendukung efisiensi di semua lini. Sehingga, dalam kondisi apa pun harga pupuk kita akan tetap kompetitif.

Diakuinya bahwa masalah pupuk ke depan akan sangat penuh tantangan, terutama dengan banyaknya serbuan pupuk impor.

“Untuk saat ini kita masih bisa berdalih bahwa kita masih unggul dari soal harga. Misalnya harga pupuk urea bersubsidi kita masih lebih murah dibandingkan produk impor asal China. Harga pupuk impor dari Tiongkok di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya Rp2.600/ kg. Sementara harga pupuk bersubsidi di tingkat petani hanya Rp1.800/kg untuk jenis urea, NPK Rp2.300/kg dan pupuk organik Rp500/kg. Itu artinya, serbuan pupuk impor hanya berpengaruh kepada pupuk nonsubsidi yang harganya mencapai Rp4.000/ kg,” ujar Ananta Wahana, Rabu 26 Februari 2020.

Politisi PDI Perjuangan itu juga mengungkapkan, kita tidak boleh terlena dengan harga-harga tersebut. Untuk itu, perlu efisiensi dalam proses produksi. Sebab, kata Ananta, kalau tidak dilakukan, akan bisa berbalik, dan harga pupuk kita bisa semakin mahal.

“Ini sebenarnya tinggal menunggu waktu, asal Tiongkok bertahan dan menjalankan efisiensi dalam proses produksinya, sementara industri kita makin tidak efisien, maka akan terjadi sebaliknya, di kita akan makin mahal. Dan, ini akan berdampak buruk terhadap pertanian kita,” katanya.

Diakuinya, persoalan lain yang sangat serius dihadapi oleh PT Pupuk Indonesi adalah masalah impor bahan baku pupuk, dan posisi pupuk impor yang menekan industri pupuk dalam negeri.

Terkait hal ini, menurut Ananta Wahana, perlu adanya penjajakan terhadap negara-negara yang memiliki sumber daya alam potassium sebagai bahan baku penting pupuk.

“Konsep pertama adalah bekerja sama dengan negara lain untuk membuka pertambangan potassium yang dikelola oleh BUMN pertambangan kita, yaitu PT Antam yang kemudian diolah menjadi KCl oleh Pupuk Indoneaia Grup. Bisa juga dengan membangun pabrik NPK di negara lain, seperti Laos yang banyak memiliki potassium, agar dekat dengan sumber bahan baku, kemudian urea dan fosfat didatangkan dari pabrik kita di Indonesia,” ungkapnya.

Dikatakannya, pertanian Laos sendiri masih banyak membutuhkan pasokan pupuk, terutama urea. Karena mereka belum mempunyai pabrik pupuk, sehingga semua kebutuhannya masih harus impor. Dengan kondisi ini, menurut Ananta, perlu ada pendekatan oleh PT Pupuk Indonesia dalam penyediaan bahan baku tersebut.

Tinggalkan Balasan