Jakarta, Semartara.News – Ketua DPR RI Puan Maharani bertemu aktivis perempuan menjelang perampungan Rancangan Undang Undang atau RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS.
Dalam pembicaraan saat Ketua DPR RI Puan Maharani bertemu aktivis perempuan tersebut, ikut terlibat di dalamnya Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) sekaligus Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka dan Anggota Komisi X DPR RI My Esti Wijayati.
Sejumlah aktivis perempuan yang hadir seperti dari Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Koalisi Perempuan Indonesia, Maju Perempuan Indonesia (MPI), Badan Riset Nasional (BRIN), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), hingga perwakilan dari Universitas Diponegoro (UNDIP).
Dalam pertemuan tersebut, Puan mengatakan kalau masukan-masukan yang diterimanya tersebut menjadi spirit tambahan untuk merampungkan RUU inisiatif DPR itu.
“Masukan yang sudah disampaikan memberikan saya kekuatan tambahan untuk melaksanakan ini sebaik-baiknya. Saya meminta masukan dari luar supaya warnanya itu beragam, bisa merangkul dan mencakup semua kepentingan yang harus kita lindungi,” ungkap mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ini.
Puan juga merasa bangga karena banyak perempuan di Indonesia yang peduli dengan nasib sesamanya. Perjuangan kaum perempuan, kata Puan, terasa berbeda karena memiliki ikatan tersendiri. “Ada pengalaman khas perempuan. Penderitaan kita itu dari awal sampai akhir, sampai katanya anak itu nggak bisa lepas dari ibunya. Betul, karena saya ibu 2 anak dan merasakannya,” terangnya.
Puan mengatakan, RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan. Meski begitu, ia juga menilai pentingnya memperhatikan korban-korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya seperti kaum lelaki dan disabilitas.
“Karena ada juga laki-laki korban kekerasan seksual. Jadi harapannya adalah RUU TPKS ini nantinya dapat melindungi, memberikan rasa aman, nyaman bukan hanya buat perempuan dan anak tapi seluruh warga Indonesia,” sebut politisi PDI-Perjuangan ini.
Kepada para aktivis, perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI ini pun menjelaskan perlunya kehati-hatian dalam proses penyelesaian RUU TPKS ke depan. Puan mengingatkan, mekanisme yang harus dilakukan masih cukup panjang usai RUU TPKS disahkan sebagai RUU insiatif DPR RI sehingga membutuhkan dukungan dari seluruh elemen bangsa.
“Ini harus menjadi undang-undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita. Apalagi kita perempuan, jiwa keibuan kita itu akan sangat melekat di manapun kita berada,” ucap Cucu Proklamator RI Bung Karno itu.
“Ini bukan berarti selesai karena masuk dalam RUU Inisiatif artinya Pemerintah dan DPR akan bersama-sama membahas permasalahan yang ada di DIM RUU TPKS. Kalaupun ada liku-liku dan dinamika di lapangan, kita harus tetap semangat. Nggak boleh emosional dan jangan menyerah,” tambah Puan.
DPR RI disebut akan senantiasa terbuka terhadap masukan masyarakat, termasuk dalam pembahasan RUU TPKS. Puan pun mengapresiasi masukan yang diberikan oleh para aktivis perempuan lewat audiensi hari ini.
“Saya berterimakasih karena saya berkesempatan untuk bertemu dengan semua teman-teman di sini. Ini menjadi perwakilan suara semua elemen bangsa. Ini sangat berarti bagi saya. Semoga pertemuan ini bukan pertemuan pertama tapi kita akan bertemu lagi dalam diskusi-diskusi yang lebih efektif,” lanjutnya.
Dalam kesempatan itu, para aktivis perempuan yang hadir juga memberi pujian kepada Puan Maharani yang menyatakan siap mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR pada 18 Januari mendatang. Hal ini mengingat RUU TPKS sudah diperjuangkan selama 7 tahun.
“Kami Menyambut baik komitmen Ibu Puan soal RUU TPKS karena RUU ini sangat spesial karena berorientasi kepada korban dan terpadu. Kami berharap bisa disahkan sebagai UU dalam waktu cepat dan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang akan disusun melibatkan akademisi dan tokoh-tokoh lain,” kata Arianti Ina Restiani Hunga dari Asosiasi Pusat Studi Wanita.
Pentingnya kehadiran RUU TPKS ini pun dinilai penting oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Apalagi berdasarkan data Komnas Perempuan, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat.
“Kami melihat gejala laporan kekerasan seksual ini terus meningkat. Setiap 2 jam ada 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual dan itu baru yang terlapor karena banyak perempuan yang tidak melaporkan kasusnya,” ujar Andy.
Komnas Perempuan juga menyoroti banyaknya regulasi di daerah yang tidak berpihak kepada kaum perempuan. Hal ini lantaran Pemda terhalang karena masalah regulasi. “Dengan kelahiran UU TPKS harapannya bisa menguatkan pemulihan korban selain soal definisi soal proses hukum dan pemidanaannya,” urai dia.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan pun menilai pencegahan kasus-kasus kekerasan seksual masih kurang efektif. Untuk itu, Komnas Perempuan berharap agar pihak pengawas pelayanan dalam kasus-kasus kekerasan seksual dapat berdiri independen yang diakomodir melalui RUU TPKS, seperti lembaga HAM.
“Mandat lembaga HAM di Indonesia adalah sebagai peyeimbang antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jadi mohon agar di RUU TPKS terkait pemantauan, Ibu Puan berkenan mengawal agar yang melakukan pemantauan adalah lembaga HAM, seperti Komnas Perempuan supaya ada penyeimbang di negara ini,” tutur Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor.