Tangerang, Semartara.News — Rencana pembangunan fasilitas Waste to Energy (WtE) atau Pengolah Sampah Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang, menuai kritik tajam dari aktivis lingkungan. Mereka menilai Gubernur Banten Andra Soni tidak memahami konsep Waste to Energy secara utuh dan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan serta masyarakat sekitar.
Gubernur Banten Andra Soni sebelumnya memimpin rapat koordinasi lintas daerah bersama Bupati Tangerang, Wali Kota Tangerang, dan Wali Kota Tangerang Selatan pada Rabu (5/11/2025). Rapat tersebut membahas kesiapan Jatiwaringin sebagai lokasi pengolahan sampah aglomerasi Tangerang Raya yang ditargetkan menghasilkan energi listrik melalui konsep waste to energy.
Dalam pernyataannya, Andra Soni menegaskan bahwa pembangunan PSEL bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan mendesak dalam menghadapi persoalan sampah di wilayah Banten, khususnya di kawasan padat penduduk Tangerang Raya.
Namun, pernyataan itu mendapat tanggapan kritis dari Koordinator Aktivis dan Warga Terdampak “TPA Jatiwaringin Menggugat”, Aditya Nugeraha. Ia menilai Gubernur Banten keliru memahami prinsip Waste to Energy dan justru mengabaikan potensi dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari sistem tersebut.
“PSEL bukan strategi konstruktif untuk menyelesaikan masalah sampah. Justru bisa menimbulkan persoalan baru seperti polusi udara akibat sistem pembakarannya,” ujar Aditya Nugeraha kepada wartawan melalui pesan singkat, Kamis (6/11/2025).
Aditya menegaskan, proyek PSEL tidak sejalan dengan semangat Zero Waste dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menekankan penyelesaian masalah sejak dari hulu — yakni pengurangan timbulan sampah di tingkat industri dan rumah tangga.
“Jika PSEL dibangun, fokus pemerintah akan bergeser ke pengelolaan sampah di hilir. Padahal, semangat undang-undang justru menuntut penyelesaian di hulu. Ini artinya, konsep Zero Waste hanya akan menjadi ilusi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Aditya menyebut bahwa konsep Waste to Energy yang benar bukanlah membakar sampah untuk menghasilkan listrik, tetapi menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab agar sampah tidak timbul sejak awal.
“Waste to Energy sejati bukan soal pembakaran, melainkan soal menertibkan industri dan rumah tangga agar tidak menghasilkan sampah berlebihan. Kalau proyek ini diteruskan, industri justru punya alasan untuk terus menciptakan sampah. Itu yang kami sebut sebagai ‘cuci tangan industri’,” jelasnya.
Selain dampak lingkungan, Aditya juga menyoroti pernyataan Gubernur Banten yang menyebut pembangunan PSEL sebagai kebutuhan. Menurutnya, hal itu hanya menjadi alasan politis untuk menutupi kegagalan pengelolaan sampah dan menghindari sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas praktik open dumping di berbagai wilayah Banten.
“Kebutuhan yang dimaksud Gubernur patut diduga hanya dalih untuk mengelak dari sanksi KLH. Faktanya, pengelolaan sampah di Tangerang Raya sudah gagal sejak awal,” tegas Aditya.
Ia juga mengkritik janji pemerintah yang menawarkan air bersih sebagai bentuk kompensasi bagi warga terdampak proyek. Menurutnya, janji tersebut adalah bentuk pembodohan karena air bersih merupakan hak dasar masyarakat yang semestinya sudah dijamin negara.
“Air bersih bukan kompensasi, tapi hak yang dirampas dan harus dikembalikan. Jangan sampai rakyat tertipu dengan barter udara tercemar demi air bersih,” pungkasnya.
Atas dasar itu, Aditya bersama warga terdampak mendesak Presiden Prabowo Subianto, Gubernur Banten Andra Soni, serta para kepala daerah di Tangerang Raya untuk meninjau ulang dan membatalkan proyek PSEL di TPA Jatiwaringin. Mereka menegaskan bahwa solusi pengelolaan sampah berkelanjutan harus dimulai dari perubahan sistem produksi, konsumsi, dan perilaku masyarakat — bukan melalui pembakaran sampah. (*)







