Pra Kongres IV, PA GMNI Bicara Revitalisasi Hukum di Indonesia

PA GMNI
Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) menggelar Webinar Nasional II dengan tajuk “Revitalisasi Pembangunan Hukum Berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika”, pada Jumat (30/4/2021) mendatang pada pukul 15.00-17.30 WIB. (Foto - Istimewa)

Jakarta, Semartara.News Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) menggelar Webinar Nasional II dengan tajuk “Revitalisasi Pembangunan Hukum Berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika”, pada Jumat (30/4/2021) mendatang pada pukul 15.00-17.30 WIB. Acara ini digelar, karena banyaknya peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak selaras dengan tujuan  negara.

Sebagai informasi, Webinar ini merupakan rangkaian kegiatan Pra Kongres IV PA GMNI yang akan digelar di Bandung, pada Juni mendatang. Menurut Ketua Pokja Hukum Panitia Nasional Kongres IV PA GMNI, Dr Bayu Dwi Anggono, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, sudah semestinya dalam setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berdasarkan pada hukum.

“Hukum menjadi sarana untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana juga dicantumkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu menuju masyarakat yang berkeadilan sosial,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember tersebut.

Bayu menjelaskan, bahwa pembangunan nasional tidak dapat mencapai tujuan bernegara jika tidak disertai adanya suatu politik hukum yang jelas dan terarah. Dalam konteks Indonesia, politik hukum yang jelas dan terarah adalah politik hukum yang bersumber pada Pancasila. Tanpa adanya politik hukum yang jelas dan terarah, kata dia, maka dipastikan banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.

“Selama ini masih saja ditemukan keluhan dari warga, tentang peraturan perundang-undangan yang dibentuk mengandung muatan diskriminatif dengan tidak mengingat keragaman bangsa Indonesia yang berbineka tunggal ika,” jelas Bayu Anggono.

Banyaknya  perkara ditangani Mahkamah Konstusi (MK) sejak berdiri 2003, imbuhnya, adalah bukti yang nyata, bahwa Pancasila belum menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Sampai dengan sekarang, MK telah memutus 3.075 perkara. Sebagian terbesar adalah perkara pengujian undang-undang sebanyak 1.392 perkara, yaitu sekitar 43% dari seluruh total perkara yang sudah diputus.

Namun demikian, kata Bayu, tidak sepenuhnya putusan permohonan pengujian undang-undang tersebut dikabulkan. MK hanya mengabulkan sekitar 267 permohonan saja, sedangkan yang ditolak ada 498 permohonan.

Mengingat kondisi tersebut, Bayu menambahkan, maka gagasan revitalisasi pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mendesak diimplementasikan. Revitalisasi yang dimaksud adalah, memastikan kedudukan Pancasila sebagai cita hukum dipedomani oleh semua pihak, mulai dari pembentukan hokum, termasuk pelaksanaan dan penegakan hukum. Dengan revitalisasi ini, maka, Pancasila akan dijadikan sebagai paradigma dalam berhukum oleh segenap bangsa Indonesia.

Pada Acara Webinar Nasional III ini juga dihadiri oleh beberapa narasumber, di antaranya adalah Prof. Dr. Arief Hidayat, Hakim Mahkamah Konstitusi, yang juga alumni GMNI Undip, Prof. Dr. Jamal Wiwoho, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS Surakarta), Prof. Dr. Benny Riyanto, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, juga alumni GMNI Undip, dan Prof. Dr. Dominikus Rato, Guru Besar Hukum Kemasyarakatan FH Universitas Jember, Alumni GMNI Jember.

Dr. Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR RI yang juga Ketua Umum DPP PA GMNI, juga menghadiri dan memberikan sambutan pembukaan pada Webinar Nasional III ini.

Tinggalkan Balasan