Opini, Semartara.News – Dulu, perpustakaan sering diidentikkan dengan ruang yang dingin, kaku, dan dipenuhi peringatan “Harap Tenang”. Penjaganya kerap digambarkan sebagai sosok berkacamata tebal yang galak, siap menegur siapa saja yang berbisik. Namun, stigma itu perlahan runtuh. Perpustakaan masa kini sedang mengalami metamorfosis luar biasa, bertransformasi dari sekadar gudang penyimpanan buku menjadi pusat gaya hidup. Fenomena ini terlihat jelas di berbagai kota, termasuk di Tangerang Banten dan sekitarnya, di mana perpustakaan berlomba-lomba memoles diri menjadi ruang yang estetis dan Instagramable.
Di era digital yang serba cepat ini, fungsi perpustakaan tidak lagi sekadar tempat meminjam dan mengembalikan buku. Jika hanya itu fungsinya, perpustakaan pasti sudah mati digilas mesin pencari Google atau aplikasi e-book di gawai kita. Namun faktanya, perpustakaan fisik tetap bertahan, bahkan semakin ramai dikunjungi. Alasannya sederhana: perpustakaan masa kini menawarkan apa yang tidak bisa diberikan oleh layar gawai, yaitu interaksi sosial dan suasana ruang publik yang inklusif.
Sosiolog Ray Oldenburg pernah memperkenalkan konsep The Third Place atau “Ruang Ketiga”, yaitu ruang sosial di antara rumah (ruang pertama) dan tempat kerja atau kampus (ruang kedua). Bagi masyarakat perkotaan, Ruang Ketiga biasanya diisi oleh kafe-kafe kekinian atau pusat perbelanjaan yang menuntut biaya. Di sinilah peran vital perpustakaan masa kini hadir sebagai Ruang Ketiga yang paling demokratis. Tidak seperti kafe yang mengharuskan kita membeli kopi mahal hanya untuk bisa duduk dan membuka laptop, perpustakaan memberikan kemewahan ruang yang nyaman secara cuma-cuma.
Namun, di balik transformasi fisik yang memukau ini, muncul sebuah pertanyaan kritis: apakah ramainya perpustakaan berbanding lurus dengan meningkatnya budaya literasi? Atau jangan-jangan, perpustakaan hanya beralih fungsi menjadi sekadar latar belakang foto demi konten media sosial? Ada paradoks yang sedang terjadi. Kunjungan fisik ke perpustakaan mungkin meningkat drastis karena tempatnya nyaman untuk “nongkrong” dan “ngonten”, tetapi kedalaman aktivitas membacanya masih menjadi tanda tanya besar.
Di era banjir informasi saat ini, tantangan terbesar kita bukan lagi soal akses, melainkan soal kedalaman pemahaman (deep reading). Kebiasaan kita menggulir layar gawai membuat kita terbiasa membaca cepat dan dangkal. Jika perpustakaan masa kini hanya terjebak pada pemenuhan fasilitas estetis tanpa diimbangi dengan program literasi yang kuat, maka ia hanya akan berakhir sebagai tempat wisata swafoto, bukan kawah candradimuka pengetahuan.
Oleh karena itu, wajah perpustakaan boleh saja berubah menjadi lebih modern, digital, dan estetik demi menarik minat generasi Z. Namun, jiwanya harus tetap sama: merawat nalar publik. Perpustakaan harus tetap menjadi ruang kontemplasi di mana pengunjungnya tidak hanya sibuk mencari sudut pencahayaan terbaik untuk foto, tetapi juga sibuk menemukan gagasan-gagasan jernih dari tumpukan buku.
Perpustakaan masa kini memikul beban berat untuk menyeimbangkan fungsinya sebagai ruang sosial yang asik dan ruang intelektual yang kritis. Pustakawan masa kini harus bertindak sebagai kurator pengetahuan, bukan sekadar penjaga gedung. Pada akhirnya, kita berharap perpustakaan menjadi antitesis dari algoritma media sosial yang bising. Di sanalah kita seharusnya melambat, merenung, dan kembali menemukan kenikmatan berpikir yang mendalam, bukan sekadar mengejar validasi maya.
Penulis: Tania Cahayani, Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Adab, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)







