Jakarta, Semartara.News – Dalam waktu 7 hari saja, revisi Undang-undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) disahkan DPR. Dengan cepatnya pembahasan beleid ini tentu menyisakan sejumlah persoalan, utamanya permasalahan yang sifatnya konstitusional.
Kontitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mencatat, persoalan dalam aturan ini bukan hanya dari sisi prosedural, juga dalam materi yang sifatnya tak substantif, tidak mendesak dan tentunya sarat dengan kepentingan politik.
“Terlihat jelas, pembentuk undang-undang memiliki
iktikad buruk untuk membajak Mahkamah Konstitusi dan menjadikan MK kaki tangan penguasa di
cabang kekuasaan kehakiman,” ujar Violla Reininda dalam keterangan persnya.
Selain itu, bagi Violla, ada implikasi deteriorasi moralitas dalam berkonstitusi. Terlebih, revisi UU ini berbahaya bagi independensi MK ke depan. Bahkan berpotensi mendegradasi kredibilitas MK di mata publik. “Dan mereduksi fungsi checks and balances MK terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif,” katanya.
Maka, beleid ini perlu diuji melalui jalur konstitusional yakni judicial review. Hal ini, kata Violla, bukan hanya untuk menyelamatkan MK, tapi juga untuk menyelamatkan praktik tata kelola sistem kenegaraan yang didasarkan pada supremasi konstitusi dan demokrasi konstitusional.
Bagi Violla, ada lima tujuan upaya pembatalan revisi UU MK ini. Pertama adalah menarik MK keluar dari pusaran politik dan konflik kepentingan parlemen. Kedua, untuk menjaga kemerdekaan MK dalam memutus perkara. “Supaya MK tetap mengedepankan perspektif konstitusionalisme dan mempertimbangkan aspek kepentingan publik,” jelasnya.
Ketiga, Kode Inisiatif ingin menjaga MK tetap optimal dan profesional dalam melakukan check and balances terhadap dua kekuasaan lain, legislatif dan eksekutif melalui pelaksanaan kewenangan pengujian UU. Keempat, uji materi ini sebagai awal untuk mengembalikan kepercayaan publik pada MK sebagai salah satu anak kandung reformasi. “Yang selama ini cukup progresif melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional warga negara serta mengoreksi produk legislasi yang inkonstitusional,” ucap Violla.
Terakhir, pengujian ini sengaja ditujukan bagi kepentingan yang lebih luas, yakni memutus legitimasi dan mendobrak praktik pembentukan UU yang melangkahi pagar prosedural dan nilai konstitusi.
Pemilihan pengujian undang-undang di MK menjadi opsi yang paling tepat mengingat tidak ada forum konstitusional lain yang diberikan oleh UUD 1945 untuk mengoreksi ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi yang bermasalah. “Praktik ini pun dianggap lazim, sebab dalam catatan KoDe Inisiatif, hingga saat ini, MK telah memutus sebanyak 40 pengujian UU MK,” jelasnya.
Dalam sejarahnya, MK telah mengabulkan 8 permohonan pengujian, dengan rincian 5 putusan menyatakan permohonan dikabulkan sebagian dan 3 putusan menyatakan permohonan dikabulkan seluruhnya.
Kemudian secara materiil, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi diujikan. Namun kesempatan ini, penyampaian kami akan lebih dititikberatkan pada ketentuan keberlakuan Revisi UU Mahkamah Konstitusi seperti yang diatur dalam Pasal 87 Revisi UU Mahkamah Konstitusi. “Pasal ini memberlakukan aturan mengikat pada hakim konstitusi yang sedang menjabat saat ini dan secara tekstual, terang sarat akan konflik kepentingan,” katanya.
Pasal ini, bagi Violla, bertentangan dengan ide negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945), tak memberikan kepastian hukum (Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945), dan berpotensi mencoreng kemerdekaan MK (Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945).
Pengujian Revisi UU Mahkamah Konstitusi ini merupakan sebuah persoalan konstitusionalitas mendasar yang berkaitan erat dengan independensi dan imparsialitas hakim konstitusi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. MK perlu menangkap pesan ini secara jelas.
Pengujian undang-undang ini juga tentu akan menjadi ujian tersendiri bagi MK. Respon hakim konstitusi ketika memutus perkara a quo akan bergantung pada paradigma dan yurisprudensi yang hendak dipedomani kelak yang kemudian memperlihatkan tendensi sikap hakim konstitusi.
“Ketika hakim berpihak pada penyelamatan lembaganya dari politisasi kekuasaan
lain, tentu yang akan menjadi sikap hakim adalah memutus perkara secara objektif dan adil serta
memberikan pertimbangan yuridis yang rasional, berperspektif kepentingan publik, dan
konstitusionalisme,” pungkasnya.