Jakarta, Semartara.News – Sengketa di Laut China Selatan kini menampilkan pola baru pengerahan kekuatan dengan hadirnya kapal-kapal paramiliter “menduduki” perairan sengketa.
Kapal-kapal paramiliter itu disebut juga sebagai milisi laut, yakni kapal-kapal ikan dengan pengawalan coast guard. Mereka berada di perairan sengketa untuk menegaskan klaim kedaulatan China.
Pengerahan seperti itu menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik bersenjata, mengingat China telah memperkuat langkahnya dengan menerbitkan undang-undang yang memberi kewenangan kepada Coast Guard China untuk beraksi di perairan sengketa.
Dalam Undang Undang yang diterbitkan Februari 2021 itu, Coast Guard China bisa melakukan segala tindakan yang diperlukan termasuk menggunakan senjata ketika klaim kedaulatan ataupun klaim yurisdiksi nasional mereka dilanggar oleh organisasi ataupun individu. Lebih dari itu, Coast Guard juga dapat menghancurkan bangunan yang dibuat negara lain di atas terumbu karang maupun di atas pulau yang diklaim China.
Masih belum cukup, Coast Guard China boleh mendeklarasikan maritime extraordinary alert zones sehingga mereka dapat membatasi atau melarang masuknya kapal-kapal asing ke area tersebut. Bahkan, bila diperintahkan Komisi Militer Pusat, kapal-kapal Coast Guard diberi wewenang melakukan operasi tempur defensif. Kapal-kapal Coast Guard China sejauh ini sudah mampu melakukan tindakan tersebut dilihat dari tonase dan persenjataan yang melekat di kapal-kapal coast guard mereka.
Menghadapi langkah China tersebut, Indonesia yang tidak memiliki klaim di Laut China Selatan, namun Zona Ekonomi Esklusif Indonesia (ZEEI) sering dimasuki kapal-kapal milisi China secara ilegal, Pemerintah Indonesia tidak perlu meniru gaya China memobilisasi kapal nelayan Indonesia untuk hadir di ZEEI.
Namun, untuk mengantisipasi dinamika geomaritim kawasan yang dinamis, ada baiknya Indonesia menyiapkan komponen cadangan sebagaimana tercantum pada Undang Undang Nomor 23/2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Selain itu juga perlu memperkuat Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) sebagai kekuatan coast guard untuk selalu berada di depan menghalau kapal- kapal milisi China.
Sejauh ini, langkah agresif China di Laut China Selatan (LCS) selalu mendapat tantangan dari negara-negara klaiman lainnya, terutama Vietnam, Filipina, dan Malaysia dengan mengerahkan kapal-kapal mereka ke sana. Kondisi inilah yang menimbulkan kekhawatiran terjadinya gesekan dengan kapal-kapal paramiliter China.
Situasi semakin meruncing dengan penggunaan “diplomasi megafon”. Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locksin, di akun twitter-nya meminta China menarik kapal-kapalnya keluar dari sana.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menanggapi cuitan Locksin, meminta Filipina mematuhi etiket dasar diplomasi dan menghindari megafon diplomasi. China juga mendesak Filipina untuk menghormati kedaulatan dan yurisdiksi China serta berhenti mengambil tindakan yang bisa mempersulit situasi di LCS. Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara klaiman dalam konflik “Sembilan Garis Putus-putus” di LCS yang dibuat secara sepihak oleh China.
Tindakan menghadirkan milisi laut China membuat situasi LSC semakin membara, karena negara-negara yang terlibat sengketa seperti Vietnam dan Filipina juga mengerahkan kekuatan serupa. Bila Coast Guard China terpancing dan menggunakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Coast Guard, maka bisa saja terjadi perang di sana yang bisa mengundang kekuatan besar lainnya terjun ke sana.
Dalam frekuensi tertentu, China juga mengerahkan milisi lautnya itu hingga ke Natuna Utara sehingga menimbulkan ketegangan dengan Indonesia di Zona Ekonomi Esklusif Indonesia (ZEEI). Meski Indonesia bukan salah satu negara klaiman dalam konflik di LCS, tetapi aksi sepihak China yang terus mengirimkan milisi lautnya ke ZEEI telah mengundang aksi Indonesia mengirimkan kapal perang ke sana untuk mengusir kapal-kapal milisi China.
Gray Zone Operations
Pengerahan milisi laut yang dilakukan China dikenal sebagai gray zone operation yakni suatu kegiatan operasi di masa damai dengan tujuan menggunakan pendekatan koersif yang masih berada di bawah ambang batas respon militer konvensional. Kapal-kapal kombatan angkatan laut tidak dioperasikan tetapi siaga di pangkalan mereka di Laut China Selatan.
Tindakan seperti itu sesungguhnya untuk mengaburkan batas antara aksi militer dan nonmiliter bersama atributnya untuk mempertahankan klaim historis sepihak yang dilakukan China atas 90 persen perairan LCS.
Sejauh ini China telah membangun fasilitas militer di pulau-pulau yang mereka duduki di LCS. Negeri itu juga telah membangun pulau buatan dan menjadikannya sebagai pangkalan militer yang kuat.
Di sisi lain, kekuatan kekuatan angkatan laut China terus dikembangkan menjadi blue water navy untuk “menakut-nakuti” negara lain di kawasan. Kapal induk ketiga China (Type 003) saat ini sedang dibangun secara cepat guna memperkuat dua kapal induk yang sudah beroperasi yaitu CNS Liaoning, dan CNS Shandong.
Dalam konflik di LCS, China menggunakan gray zone operation dalam bentuk menugaskan coast guard dan kapal-kapal ikan milisi sebagai pion dalam percaturan hegemoni.
Menurut laporan Filipina, mereka mendeteksi keberadaan 220 kapal ikan China di perairan sengketa. Kapal-kapal ikan China dengan kawalan coast guard secara teratur terus menerus berada di sana. Jumlah kapal ikan yang cukup besar itu memunculkan suatu dugaan bahwa keberadaan mereka teroganisir dan terencana dengan baik.
Kapal-kapal milisi penangkap ikan itu merupakan elemen kejut dan dapat didefisinikan sebagai infiltrasi elemen militer ke daerah sengketa. Kehadiran milisi laut tersebut juga merupakan bentuk lain dari Perang Generasi Keempat dalam konsep Perang Hibrida menuju konflik terbuka.
Kehadiran kapal-kapal ikan milisi itu bisa disebut sebagai rekayasa kekuatan “angkatan laut” untuk mendukung klaim historis China di sana. Kapal-kapal milisi itu dilaporkan bergerak dengan koordinasi Angkatan Laut China dan Coast Guard China, suatu hal yang dibantah China.
Kondisi di LCS juga semakin mengkhawatirkan karena Amerika Serikat meski tidak memiliki klaim di sana menantang hegemoni China atas klaim LCS. Kapal-kapal perang AS dengan alasan freedom of navigation operation berlayar di LCS, membuat China murka. Sekutu AS, Inggris, Perancis dan Australia juga ikut beraksi. Kapal induk Inggris, HMS Queen Elizabeth berlayar ke LCS, begitu juga Perancis mengirimkan kapal selam bertenaga nuklir, Emereude, untuk berpatroli di LCS.
Ketegangan serupa juga terjadi di Laut China Timur (LCT), Selat Taiwan, dan Laut Kuning, melibatkan Jepang, Taiwan dan China. Di sana ada sengketa Pulau Senkaku yang dikuasai Jepang (China menyebutnya Pulau Diaoyu) antara Jepang dan China, serta masalah Taiwan yang oleh China dianggap sebagai provinsinya yang membelot.
Ketegangan di dua trouble spot itu setiap saat bisa berubah menjadi konflik bersenjata yang mengerikan mengingat kekuatan AS setiap saat bisa dikerahkan ke LCS maupun LCT untuk membela sekutu AS. Kapal induk USS Ronald Reagan, dengan armada pendukungnya berupa kapal-kapal penjelajah, fregat dan kapal selam, bisa bergerak ke LCS dari pangkalan mereka di Yokosuka, sedangkan kapal induk USS Theodore Roosevelt, juga dengan kawalan kapal penjelajah, fregat dan kapal selam dapat dikerahkan ke LCT.
Mencermati situasi tersebut, sengketa LCS dan LCT setiap saat bisa berubah menjadi arena perang terbuka antara dua kekuatan raksasa dunia; AS bersama sekutunya menghadapi China yang juga memiliki pendukung sejumlah negara di belakangnya. Bila itu terjadi, sebuah bencana lain akan mendera dunia yang hingga kini masih terus berjuang mengatasi pandemi COVID-19 yang juga berawal dari China. Indonesia sebagai yang dituakan di Asia Tenggara harus berupaya mencegah hal itu terjadi.
Laksamana TNI (Purn) Prof Dr Marsetio
Professor of Defense Science, Indonesia Defense University, Chief of the Indonesian Navy 2012-2015