SEMARTARA, Serang (30/12) -Tantangan terbesar pembangunan di Provinsi Banten adalah meningkatkan kesejahteraan dan menyediakan lapangan kerja. Meski sudah banyak kemajuan, tetapi masih diperlukan upaya untuk menurunkan tingkatpengangguran secara signifikan.
Hal itu terungkap dalam Forum Riset Daerah 2017 tentang strategi dan tantangan pembangunan SDM Banten dalam rangka pencapaian target SDGs, yang diselenggarakan Dewan Riset Daerah (DRD) Banten di Ledian Hotel, Kota Serang, Jumat (29/12).
Kepala Bappeda Banten Hudaya Latuconsina dalam sambutannya mengatakan, solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran adalah pembangunan pendidikan. Karena itu, Pemprov Banten telah memprioritaskan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil kajian Bank Indonesia tahun 2017 yang menyebutkan terjadinya pelambatan pembangunan Banten, disebabkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dalam hal ini terkait rata-rata lama sekolah masyarakat Banten hanya 8,7 tahun (lulus kelas 2 SMP/SLTP). Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SMA/SMK baru mencapai 57,04 persen.
Hudaya menambahkan, pemprov juga terus melakukan peningkatan kualitas pendidikan. Jangan sampai lulusannya jadi pengangguran. Pembangunan pendidikan di Banten, kata Hudaya, harus dapat menyelesaikan dua permasalahan pokok, yaitu pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Sebab ujung dari pembangunan pendidikan adalah terwujudnya masyarakat Banten yang sejahtera.
“Tantangan saat ini justru angka pengangguran lulusan SMA/SMK sangat tinggi di Banten, sementara angka pertumbuhan ekonominya, Banten masuk lima besar terbaik secara nasional,” jelas Hudaya.
Terkait pendidikan yang belum mampu mengurangi pengangguran, peneliti Pattiro Banten, Faiz Muhamad menuturkan, perlu ditingkatkan koordinasi antara gubernur, bupati dan walikota dalam membangun pendidikan dari hulu hingga hilir. Faiz menyebutkan, 48 persen kondisi sekolah di Banten dalam kondisi rusak.
“Itu data dari Kemendikbud. Sementara hasil riset Pattiro sangat mengkhawatirkan, tiga dari sepuluh siswa di Banten mengaku terancam keselamatan dan kesehatannya saat belajar di sekolah,” ungkapnya
Ratusan miliar anggaran pendidikan, kata Faiz, nyaris didominasi belanja langsung. Akibatnya, pemerintah daerah selalu beralasan banyak sekolah rusak karena anggaran terbatas.
“Ke depan pendidikan di Banten harus dirancang ulang agar lebih terarah, sehingga tata kelola perbaikan sekolah rusak berjalan efektif,” sarannya.
Sementara peneliti senior ICW, Ade Irawan yang turut hadir dalam forum riset daerah menegaskan, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dengan membangun tata kelola menjadi salah satu kunci mencegah korupsi di dunia pendidikan.
“Kebijakan anggaran yang partisipatif, terbuka, akuntabel akan membuat banyak pihak turut melakukan pengawasan. Keterlibatan publik dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan akan mempersempit ruang korupsi,” katanya.
“Praktek korupsi umumnya terjadi di ruang gelap tanpa ada kontrol yang ketat. Ini harus kita hentikan demi kemajuan Banten,” sambung Ade.
Diakhir acara, Ketua DRD Banten HM Tihami mengungkapkan, pembangunan SDM di Banten harus dimulai dari pendidikan dan kesehatan, selanjutnya berdasarkan riset dan saling kerjasama antar berbagai pihak.
“Masalah di Banten sangat banyak, harus disentuh oleh riset dan berdasarkan kekuatan data. Riset-riset ini yang harus kita bangun, agar pemerintah daerah bisa menyelesaikan persoalan dengan benar,” ungkapnya.
Hasil dari forum riset daerah ini, lanjut Tihami, akan disampaikan kepada gubernur untuk perbaikan di tahun 2018.
“Terkait strategi pembangunan SDM di Banten, awal Januari 2018 kami akan sampaikan sejumlah rekomendasi pembangunan kepada gubernur. Kami sudah menyusun dan memetakan persoalan beserta solusinya,” tutupnya. (soe)
Baca juga: