Opini  

Pamer Uang Miliaran Hasil Korupsi, Apa Dampaknya bagi Kepercayaan Publik pada Hukum?

Praktik aparat pamer uang sitaan kontroversial, perlu transparansi dan akuntabilitas untuk penegakan hukum yang adil.
Dr. Muhammad Akhyar Adnan (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Praktik aparat penegak hukum (APH) yang sering memamerkan tumpukan uang hasil sitaan dari kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya menimbulkan berbagai reaksi. Di satu sisi, tindakan ini dianggap sebagai bukti keberhasilan penegakan hukum. Namun, di sisi lain, muncul kritik yang menilai bahwa aksi tersebut berlebihan dan menimbulkan pertanyaan terkait transparansi serta integritas aparat.

Belakangan ini, masyarakat kerap melihat gambar atau video yang menampilkan uang tunai dalam jumlah besar—mulai dari miliaran hingga triliunan rupiah. Meskipun tampak dramatis, fenomena ini sebenarnya menyimpan persoalan sosial, hukum, dan etika yang kompleks.

Secara resmi, tujuan pemaparan uang tunai ini adalah untuk menunjukkan keberhasilan aparat dalam mengungkap kejahatan serta menyampaikan pesan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, secara logika, sangat tidak mungkin para pelaku korupsi menyimpan uang tunai dalam jumlah besar. Dalam praktik organisasi modern, konsep petty cash hanya digunakan untuk pengeluaran kecil sehari-hari, bukan untuk menyimpan uang dalam jumlah besar.

Faktanya, hasil kejahatan finansial biasanya disembunyikan dalam bentuk aset, investasi, atau rekening bank agar sulit dilacak. Oleh karena itu, uang tunai yang dipamerkan biasanya merupakan hasil gabungan penyitaan dari berbagai lokasi dan kasus, bukan dari satu pelaku atau satu transaksi saja.

Kasus besar seperti korupsi proyek e-KTP dan penyelewengan dana bansos menunjukkan bahwa uang sitaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Dengan demikian, aksi pamer uang lebih bersifat simbolis daripada mencerminkan kondisi sebenarnya para koruptor.

Dari sisi sosial, tontonan ini memang memberikan kepuasan instan bagi publik. Namun, ada risiko munculnya budaya sensasionalisme yang justru mengaburkan hal-hal penting seperti hak tersangka, proses peradilan yang adil, dan transparansi hukum. Jika dianggap sebagai pencitraan semata, praktik ini justru dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum.

Secara hukum, masalah penting lainnya adalah bagaimana mekanisme penyimpanan dan pengamanan barang bukti berupa uang tunai. Tata kelola yang lemah berpotensi membuka peluang penyalahgunaan dan merugikan proses persidangan. Oleh karena itu, akuntabilitas dan transparansi harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan aset sitaan.

Fenomena ini pada akhirnya menggambarkan dilema di mana aparat penegak hukum terjebak dalam “politik pencitraan” yang lebih mengutamakan kesan publik daripada substansi hukum. Padahal, penegakan hukum yang ideal harus berfokus pada keadilan, penghormatan hak asasi manusia, dan transparansi—tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi efek dramatis.

Dengan demikian, praktik memamerkan uang hasil sitaan perlu dievaluasi kembali. Aparat sebaiknya mengutamakan komunikasi publik yang bersifat edukatif, menekankan proses hukum yang transparan, serta menegaskan akuntabilitas. Pendekatan ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan mempertontonkan tumpukan uang yang meskipun terlihat mengesankan, berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat.

Penulis: Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Yarsi. (*)

Tinggalkan Balasan