Opini, Semartara.News — Ilmu sosial di Indonesia tengah mengalami krisis multidimensi yang tidak dapat diabaikan. Krisis ini bukan semata-mata problem metodologis atau kurangnya inovasi akademik, tetapi menyangkut kegagalan mendasar ilmu sosial dalam menjelaskan kenyataan Indonesia dan memberdayakan masyarakatnya. Salah satu akar persoalan terbesar adalah ketergantungan berlebihan pada teori-teori Barat yang diimpor tanpa kritik, meskipun tidak selalu kompatibel dengan konteks sosial, politik, maupun historis bangsa ini. Karena itu, mengakar-ilahkan atau melakukan indigenisasi ilmu sosial menjadi kebutuhan mendesak agar pengetahuan yang lahir benar-benar mampu membaca sekaligus mengubah realitas Indonesia.
Bebalisme Akademik dan Kemandekan Ilmu Sosial
Salah satu gejala paling serius dalam dunia ilmu sosial Indonesia adalah apa yang disebut sebagai “bebalisme”: kecenderungan pasif untuk menerima teori, konsep, dan pendekatan dari luar negeri tanpa sikap kritis maupun upaya penyesuaian kontekstual. Praktik ini membuat ilmu sosial menjauh dari akar persoalan masyarakat dan justru kerap menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, bukan alat pembebasan.
Penelitian sosial pun sering berakhir sebagai dokumen administratif yang memoles kebijakan, alih-alih membongkar ketidakadilan struktural atau memberikan jalan keluar bagi masalah seperti kemiskinan, ketimpangan, atau polarisasi sosial. Di titik ini, ilmu sosial kehilangan fungsi etik dan kritiknya, sehingga gagal menjadi motor perubahan.
Dominasi Positivisme dan Saintisme
Kemandekan itu diperparah oleh dominasi positivisme dan saintisme yang memandang ilmu sosial semata sebagai “teknologi pengetahuan” yang harus netral nilai. Orientasi ini memusatkan perhatian pada data, prosedur, dan pembuktian empiris, sembari mengabaikan dimensi moral, historis, dan politis dari realitas sosial.
Padahal, masyarakat bukan laboratorium steril. Fenomena sosial sangat sarat makna, kepentingan, bahkan konflik. Ketika ilmu sosial dijauhkan dari ranah nilai dan politik, ia justru menjadi tidak relevan—tidak peka terhadap penderitaan sosial, tidak responsif terhadap ketidakadilan, dan tidak mampu memantik kesadaran kritis. Ilmu sosial semestinya tidak berhenti pada deskripsi empiris, tetapi juga berfungsi sebagai alat refleksi dan emansipasi.
Indigenisasi Reflektif-Emansipatif sebagai Jalan Pembaruan
Dalam menghadapi krisis tersebut, indigenisasi ilmu sosial perlu dijalankan secara reflektif sekaligus emansipatif.
- Reflektif, berarti ilmu sosial harus kembali membaca akar pengalaman sosial masyarakat Indonesia, menggali nilai-nilai lokal, kearifan tradisional, serta dinamika historis yang membentuk identitas bangsa.
- Emansipatif, berarti orientasi ilmu sosial harus diarahkan untuk membebaskan masyarakat dari dominasi pengetahuan hegemonik, dari ketimpangan sosial, dan dari struktur politik yang menindas.
Indigenisasi bukanlah penolakan terhadap teori Barat, tetapi upaya mendialogkan, mengadaptasikan, dan menempatkannya dalam konteks Indonesia. Proses ini menuntut dekonstruksi terhadap logika hegemonik yang selama ini membatasi kreativitas akademik dan meminimalkan pengalaman lokal.
Kolaborasi Akademisi, Praktisi, dan Masyarakat
Indigenisasi reflektif-emansipatif tidak mungkin tercapai jika hanya dikerjakan oleh akademisi di ruang-ruang kuliah. Ini harus menjadi proyek bersama:
- Akademisi perlu berani menantang dominasi teori impor, mengembangkan paradigma baru yang grounded pada realitas Indonesia, sekaligus tetap terbuka pada dialog lintas tradisi.
- Praktisi dan pembuat kebijakan harus menciptakan ruang kolaborasi yang memungkinkan ilmu sosial berperan langsung dalam merumuskan solusi kontekstual.
- Masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek pengetahuan, bukan sekadar objek penelitian, sehingga ilmu sosial benar-benar menjadi sarana pemberdayaan.
Menuju Ilmu Sosial yang Berdaya dan Berkeadilan
Dengan orientasi tersebut, indigenisasi akan menjadi fondasi pembaruan intelektual bangsa: lebih kreatif, lebih berani, dan lebih bertanggung jawab secara sosial. Ini bukan hanya tentang membangun teori “khas Indonesia,” tetapi juga tentang menciptakan kehidupan sosial-politik yang lebih adil, demokratis, dan berkelanjutan.
Indigenisasi reflektif-emansipatif adalah jawaban terhadap problem identitas keilmuan, sekaligus kebutuhan strategis bagi masa depan bangsa dalam menghadapi globalisasi dan perubahan cepat. Jika dijalankan secara serius, ilmu sosial Indonesia akan bertransformasi dari sekadar instrumen legitimasi menjadi alat pembebasan—membangun masyarakat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan kokoh secara budaya.
Penulis : Nichla Munfassila Ruzia
Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, FISIP, Universitas Pamulang Kampus Serang.
Dosen Pengampu : Angga Rosidin, S.I.P., M.I.P. (*)







