Opini, Semartara.News — Lahirnya nasionalisme di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh penderitaan panjang di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan politik, tetapi juga dipengaruhi oleh meningkatnya semangat bangsa-bangsa terjajah lainnya dalam meraih kemerdekaan, seperti Filipina dan India. Sejarah terbentuknya nasionalisme di Indonesia berakar pada perasaan senasib sepenanggungan, yang merupakan reaksi subjektif terhadap kondisi yang ada, dan kemudian menemukan koneksitas dengan kondisi objektif secara geografis (Rachmat, 1996).
Perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan kausal antara nasionalisme di Indonesia dan di Eropa. Nasionalisme di Indonesia muncul sebagai reaksi terhadap penjajahan kolonial, sementara di Eropa, nasionalisme lahir akibat pergeseran dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri sebagai dampak dari revolusi industri. Pada hakikatnya, nasionalisme merupakan ideologi negara modern, sebanding dengan demokrasi dan komunisme. Bahkan, kolonialisme dan imperialisme dapat dianggap sebagai bentuk nasionalisme yang bersifat ekspansif. Menurut aliran Marxis, masalah kebangsaan yang paling mendasar adalah titik pertemuan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial (Hobsbawm, 1992).
Konsep mengenai bangsa yang baru dikenal pada abad ke-19 mengalami beberapa perubahan makna. Sebelum tahun 1884, istilah “nacion” atau “nation” diartikan sebagai kumpulan penduduk dari suatu provinsi, negeri, atau kerajaan, termasuk orang asing. Menurut Hobsbawm (1992), makna tersebut berkembang menjadi suatu pemerintahan bersama yang diakui oleh suatu negara atau badan politik, di mana wilayah dan penduduknya membentuk suatu kesatuan. Pengertian “nacao” dari Enciclopedia Brasileira Merito menyebutkan bahwa itu adalah komunitas warga negara dari suatu negara yang hidup di bawah rezim atau pemerintahan yang sama dan memiliki kepentingan bersama; kolektivitas penduduk di suatu wilayah dengan tradisi, aspirasi, dan kepentingan yang sama, serta tunduk di bawah suatu kekuatan pusat yang bertugas mempertahankan kesatuan kelompok tersebut.
Ketika membahas nasionalisme, kita sering kali merujuk pada negara sebagai suatu entitas yang memiliki batas teritorial, penduduk, dan diakui secara hukum oleh negara lain. Negara, seperti halnya individu, memiliki kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan negara lain, baik dalam bentuk bilateral (antar dua negara) maupun multilateral (antar banyak negara), serta dalam konteks hubungan internasional.
Jika kita menelusuri kembali, nasionalisme di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan nasionalisme di Jepang atau Jerman. Di Jerman, nasionalisme sering kali terasosiasi dengan fasisme dan chauvinisme, di mana negara tersebut menerapkan paham otoriter untuk menegakkan kedaulatan, dengan keyakinan bahwa ras Arya adalah yang paling superior. Hal ini mengarah pada tindakan genosida terhadap ras atau suku bangsa lain yang dianggap sebagai ancaman.
Sementara itu, nasionalisme di Jepang ditandai oleh propagandanya yang menekankan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia dan pelindung Asia. Paham chauvinisme ini bersifat ekspansif, yang mendorong Jepang untuk melakukan penjajahan terhadap negara-negara lain seperti Taiwan, Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Indonesia, yang memiliki potensi sumber daya alam namun lemah dalam pertahanan dan keamanan.
Berbeda dengan itu, nasionalisme di Indonesia bersifat gotong-royong, berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut nasionalisme non-blok, tidak terikat pada paham kapitalisme liberal yang dipromosikan oleh Amerika Serikat, maupun komunisme sosialisme. Indonesia memiliki peran signifikan dalam upaya menjaga perdamaian dunia.
Dalam praktiknya, nasionalisme di Indonesia bersifat etnik, menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Selain itu, nasionalisme ini juga bersifat kenegaraan, berperan dalam kolaborasi dan kerja sama secara bilateral, multilateral, atau internasional di berbagai sektor, termasuk ideologi, politik, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Nasionalisme di Indonesia juga mencerminkan kewarganegaraan, di mana warga negara memiliki peran aktif dalam mempertahankan kedaulatan negara dan berpartisipasi dalam sistem demokrasi yang langsung, bebas, rahasia, dan adil (luberjurdil).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme di Indonesia bersifat persatuan yang menghargai berbagai perbedaan, memiliki peran aktif dalam berbagai bidang kerja sama, dan melibatkan partisipasi nyata dari warga negara dalam mengaktualisasikan makna nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Rizki Saputro, S.Hum, tinggal di Brebes, Jawa Tengah. (*)