Opini  

Meritokrasi sebagai Solusi Mengatasi Krisis Kepercayaan dan Monopoli Kekuasaan di Negeri Ini

Opini: QS An-Nisa 58 menegaskan amanah dan keadilan sebagai fondasi peradaban. Bagaimana relevansinya dengan kepemimpinan Indonesia?
Imaam Yakhsyallah Mansur (Foto: Dok. pribadi)

Opini, Semartara.News — Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa [4]: 58).

Imam As-Suyuthi Rahimahullah dalam kitab “Asbabun Nuzul” menjelaskan sebab turunnya ayat di atas. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih bahwasannya Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah menaklukkan Kota Makkah, beliau memanggil Usman bin Thalhah, orang yang memegang kunci Ka’bah yang belum masuk Islam.

Ketika Usman datang kepadanya, Rasulullah bersabda, “Berikanlah kepadaku kunci Ka’bah,”. Lalu ia membawa kunci Ka’bah dan memberikannya kepada Rasulullah. Ketika itu juga Abbas (paman Nabi) bangkit lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepadaku agar tugas memberi minum dan kunci Ka’bah aku pegang sekaligus.” Namun Rasulullah tidak memberikan kunci itu kepadanya.

Setelah memegang kunci Ka’bah, kemudian Rasulullah membuka pintu Ka’bah dan masuk ke dalamnya. Kemudian turun Malaikat Jibril Alaihi Salam kepadanya menyampaikan pesan Allah Ta’ala (Surah An-Nisa ayat 58 di atas) untuk mengembalikan kunci tersebut kepada pemegang sebelumnya. Lalu Rasulullah memanggil kembali Usman bin Thalhah dan mengembalikan kunci tersebut.

Sementara Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa amanah dalam ayat di atas meliputi kewajiban individu kepada Allah Ta’ala, seperti: shalat, zakat, dan puasa, serta kewajiban sosial kepada sesama manusia seperti menjaga titipan, menepati janji, hingga memimpin dengan adil.

Dengan kata lain, amanah sejatinya mencakup seluruh aspek kehidupan seorang muslim, baik hubungan dengan Allah (hablun minallah) maupun hubungan dengan manusia (hablun minannas).

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan penegakan keadilan dalam memutuskan perkara. Imam Fakhruddin ar-Razi Rahimahullah menegaskan bahwa keadilan adalah pondasi berdirinya peradaban.

Tanpa keadilan, masyarakat akan terpecah-belah, dan kekacauan akan merajalela. Karena itu, dalam perspektif syariat Islam, keadilan merupakan salah satu maqashid asy-syari’ah (tujuan utama syariat).

Ayat di atas merupakan salah satu fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil, beradab, dan bermartabat. Para ulama sepakat bahwa amanah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, mencakup segala bentuk tanggung jawab yang dipikul manusia, baik yang bersifat personal, sosial, maupun spiritual.

Amanah Sebagai Pondasi Kehidupan

Apabila seseorang telah mendapatkan amanah, maka ia dituntut untuk melaksanakan amanah itu sebaik-baiknya. Ia harus menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan penuh tanggung jawab, kejujuran, dan integritas. Amanah bukanlah sekadar titipan, tetapi juga ujian yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala dan manusia.

Amanah ibarat fondasi sebuah bangunan. Jika fondasinya kokoh, bangunan akan berdiri dengan kuat. Namun, jika fondasi rapuh, bangunan itu cepat atau lambat akan roboh, meskipun tampak megah dari luar. Demikian pula dalam masyarakat, ketika amanah diabaikan, tatanan sosial akan runtuh.

Amanah yang diabaikan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya, rasa saling curiga akan menjalar, dan konflik horizontal akan muncul di mana-mana. Dalam skala yang lebih besar, pengkhianatan terhadap amanah dapat menghancurkan seluruh sistem kehidupan.

Maka, pengabaian amanah bukan hanya berdampak pada materi, tetapi juga memicu krisis kepercayaan di tengah masyarakat. Ketika rakyat melihat pejabat berfoya-foya, sementara mereka sendiri harus berjuang keras memenuhi kebutuhan dasar, maka lahirlah rasa kecewa, marah, dan apatis. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka seluruh sendi kehidupan akan runtuh.

Dalam perspektif agama, amanah (terutama kepemimpinan) bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga pertanggungjawaban spiritual, yakni kepada Allah Ta’ala di hari Kiamat kelak. Dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu anhu, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menegaskan, jika seseorang tidak menunaikan amanahnya dengan baik, maka hal itu akan menjadi sumber kehinaan dan penyesalan. Namun, bagi orang yang menjalankan amanah dengan benar, melaksanakan tugasnya dengan adil dan penuh tanggung jawab, maka amanah tersebut menjadi jalan kemuliaan.

Ketika Amanah Tak Tertunaikan

Rakyat Indonesia telah menyelesaikan pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, mulai dari perhelatan pilkada, pilpres dan pemilu. Rakyat menaruh harapan besar kepada para pemimpin dan wakil rakyat untuk dapat menjalankan tugas dan janjinya, sebagaimana diucapkan dalam kampanye mereka.

Namun, belakangan ini rakyat tidak melihat para pejabat dan wakil rakyat menjalankan amanah dengan baik. Setelah mereka menduduki jabatan, ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih membela rakyat yang telah memilih mereka, para pejabat dan wakil rakyat hidup glamour dengan berbagai fasilitas yang mereka dapatkan melalui undang-undang yang mereka buat sendiri.

Sementara rakyat kelas bawah berjuang keras menghadapi berbagai kesulitan ekonomi. Lapangan pekerjaan kian sulit, sementara sebagian besar lainnya menghadapi gelombang PHK dari perusahaan tempat mereka bekerja. Hal yang lebih menyakitkan lagi, pemerintah menaikkan berbagai sektor pajak, sehingga membuat kondisi masyarakat kian sulit.

Akhirnya, hal itu memunculkan ketidakpercayaan masyarakat. Rakyat merasa dikhianati karena suara yang mereka berikan ternyata tidak digunakan untuk memperjuangkan kepentingan mereka, melainkan untuk memperkaya diri para pejabat dan wakil rakyat yang mereka pilih.

Ketimpangan antara kehidupan pejabat yang penuh kemewahan dengan penderitaan rakyat semakin jelas terlihat, sehingga menimbulkan jurang pemisah yang dalam. Kondisi tersebut memicu gejolak sosial yang sulit dikendalikan.

Hasil survei terbaru menunjukkan fakta yang mencemaskan. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat hanya 19 persen masyarakat yang masih percaya pada kinerja DPR RI, angka terendah sejak era Reformasi. Partai politik pun hanya meraih tingkat kepercayaan sekitar 51-54 persen, jauh dari kata ideal.

Rendahnya kepercayaan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari berbagai peristiwa yang menguras kesabaran masyarakat. Kasus-kasus korupsi yang terus berulang tanpa penyelesaian yang jelas dan ketimpangan dalam pelaksanaan hukum yang hanya tajam kepada lawan politik semakin membuat rakyat kecewa.

Ketika rakyat melihat wakil mereka terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang hanya menguntungkan diri sendiri, keluarga, kelompoknya dan oligarki, maka dalam situasi seperti ini demonstrasi dan protes menjadi tak terelakkan. Bahkan di beberapa kota, aksi anarkis seperti penjarahan dan pembakaran gedung pemerintahan terjadi sebagai simbol kemarahan rakyat yang tak lagi terbendung.

Tentu setiap perbuatan anarkis, dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, esensi yang seharusnya ditangkap oleh para pemegang amanah adalah kekecewaan rakyat terhadap amanah yang mereka titipkan, ternyata tidak dijalankan dengan baik oleh para pejabat dan wakil rakyat.

Langkah Pemulihan, Kembali ke Esensi Amanah

Untuk memulihkan kepercayaan publik, para pejabat dan pemimpin harus kembali pada esensi amanah. Jabatan bukanlah kehormatan pribadi, tetapi titipan rakyat dan amanah dari Allah Ta’ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Setiap kebijakan harus berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan memperkaya diri atau kelompok. Para pemimpin juga harus memberi teladan nyata, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar rakyat kembali melihat mereka sebagai figur yang layak dipercaya.

Penegakan hukum yang tegas dan adil menjadi pilar penting. Kasus korupsi tidak boleh lagi ditangani setengah hati atau dijadikan alat politik untuk menjatuhkan lawan. Semua pihak yang bersalah harus diproses tanpa pandang bulu, termasuk pejabat tinggi sekalipun.

Ketika hukum benar-benar ditegakkan, rakyat akan kembali percaya bahwa negara benar-benar serius memberantas praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Meritokrasi vs Monopoli Kekuasaan

Pemerintahan yang sehat harus dikelola dengan sistem meritokrasi, yaitu menempatkan seseorang pada posisi jabatan berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak yang jelas.

Dalam meritokrasi, pemimpin dipilih karena kemampuannya, bukan karena kedekatan politik, hubungan keluarga, atau tekanan kelompok tertentu. Sistem ini memastikan setiap kebijakan lahir dari pertimbangan matang dan benar-benar bermanfaat bagi rakyat.

Dengan meritokrasi, kepercayaan publik akan tumbuh karena rakyat melihat negara dipimpin oleh orang-orang yang layak dan kompeten. Sebaliknya, jika pemerintahan dikelola dengan monopoli kekuasaan, kolusi, politik dinasti, dan pemberian amanah jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi, maka kehancuran tatanan sosial pasti akan terjadi.

Dalam sebuah hadist dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (Muttafaq Alaih).

Hadits di atas menegaskan pentingnya memberikan amanah kepada orang yang memiliki kompetensi, keahlian, dan amanah. Jika suatu tanggung jawab diserahkan kepada orang yang tidak layak, tidak memiliki kemampuan, dan tidak berintegritas, maka akan terjadi kerusakan dan kehancuran dalam masyarakat.

Sejarah membuktikan, ketika Presiden Soekarno memilih menteri yang bukan ahlinya, maka rezimnya hancur. Ketika Presiden Soeharto di akhir jabatannya terjangkit penyakit Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka rezimnya tumbang.

Ketika Presiden Jokowi memperkuat politik dinasti, yang oleh sebagian orang dianggap melanggar ketentuan hukum yang berlaku, mengangkat orang-orang terdekatnya menduduki jabatan-jabatan strategis dan itu tidak segera diperbaiki, maka dampaknya kita rasakan saat ini, dimana kekacauan dan kerusakan sosial terjadi di mana-mana.

Maka, meritokrasi menjadi sebuah keniscayaan ketika kita ingin memperbaiki negeri ini. Dengan meritokrasi, keputusan yang diambil akan lebih tepat, kebijakan yang diterapkan akan lebih efektif, dan pelayanan publik akan lebih optimal.

Untuk memperbaiki kondisi ini, antara rakyat dan para pemimpin serta wakil rakyat harus saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Dengan komitmen pada nilai amanah, keadilan, dan keberpihakan pada kebenaran, Indonesia akan dapat keluar dari krisis yang dihadapi dan menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur. InsyaAllah.

Penulis: Imaam Yakhsyallah Mansur, Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan