Memaknai Harapan di Tengah Dunia Yang Berubah

Memaknai Harapan di Tengah Dunia Yang Berubah
Sekretaris Anggota Wantimpres RI, Jan Prince Permata, SP, MSi (Foto - Ekslusif)

”Politik dan ekonomi harus sejalan, mendorong ke muka! Politik harus berusaha menuntut hak rakyat. Ekonomi berusaha untuk memperbaiki dan menyelamatkan penghidupan rakyat, serta memerdekakan penghidupan rakyat,”

Jakarta, Semartara.News – Sejak dua dekade terakhir menjelang abad 20, dunia mengalami berbagai perubahan global fundamental yang dampaknya secara tidak terelakkan mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Gelombang perubahan global yang hingga dewasa ini terus berlangsung dan bergerak semakin cepat itu telah membawa masyarakat dunia pada suatu pengalaman dan kehidupan baru yang penuh tantangan.

Menjelang akhir dekade 1980-an, kita menyaksikan serangkaian perubahan besar dunia yang mendorong munculnya peta baru kekuatan politik global. Ancaman yang mencekam akibat perang dingin yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II, tiba-tiba lenyap bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan imperium Uni Soviet secara cepat dan tidak terduga. Dengan berakhirnya perang dingin itu maka dinamika hubungan internasional antar negara mulai memasuki suatu babak baru.

Semula dinamikanya lebih banyak ditentukan oleh adanya realitas persaingan kekuatan politik global bi-polar antara Blok Barat yang dimotori Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikendalikan Uni Soviet. Sejak negara imperium komunis itu bubar, dinamikanya lebih mencerminkan adanya perkembangan kekuatan politik global yang multipolar yang nyaris tanpa pola tetap dan pasti.

Oleh karena itu harapan semula bahwa runtuhnya kekuatan imperium Uni Soviet akan menjelmakan suatu wujud dunia yang lebih damai, pada kenyataannya malah berbeda sama sekali. Dunia bukannya semakin sepi dari ketegangan dan konflik internasional, tetapi sebaliknya ketegangan dan konflik terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Bahkan memasuki abad 21, dinamika ketegangan dan konflik internasional malah menunjukkan gambaran yang semakin kompleks, rumit, multidimensi, serta sulit diprediksi dan diperkirakan polanya.

Di sisi lain, berakhirnya perang dingin tersebut di atas, pada awalnya membawa harapan baru bagi kemajuan pembangunan global, terutama bagi mereka yang percaya pada model pembangunan yang berlandaskan ekonomi pasar bebas (free market economy). Puncak dari harapan itu, antara lain, tercermin dari pandangan futurolog, Yoshihiro Francis Fukuyama, dalam karya bukunya yang sangat popular, berjudul bukunya ‘The End of History and The Last Man’, yang terbit tahun 1986.

Isi buku itu pada dasarnya menggambarkan bahwa pertarungan idiologi dan pemikiran yang mewarnai sejarah masyarakat global, terutama sejak usainya Perang Dunia II, telah berakhir; dan dengan begitu perjalanan pembangunan global ke depan tidak lain merepresentasikan perkembangan lebih lanjut dari demokrasi liberal dengan perekonomian pasarnya.

Sejarah, menurut Fukuyama, telah berakhir dengan kemenangan mutlak ekonomi pasar bebas (fee market economy). Tidak ada alternatif model pembangunan lain kecuali yang berdasarkan ekonomi pasar bebas; dan model ini yang akan mampu menyelesaikan persoalan pembangunan global. Tetapi, sekali lagi, harapan ternyata tinggal harapan karena apa yang dibayangkan semula ternyata daam perjalanannya tidak terwujud dalam kenyataan.

Memasuki abad 21 hingga dewasa ini, gagasan dan praktik pembangunan global ternyata tetap mereproduksi permasalahan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan. Sejarah (kemiskinan, keterbelakangn dan ketidakadilan) ternyata belum berakhir.

Memang ada kemajuan yang telah dicapai, tetapi permasalahan pembangunan global tersebut tampaknya tetap dan akan semakin sulit diatasi. Sebab persoalan yang dihadapi itu adalah melekat atau inheren dalam diri paradigmanya. Bahkan berbagai hasil kemajuan yang telah dicapai justru melahirkan berbagai dampak atau masalah-masalah baru yang tidak diperkirakan sebelumnya (unintended). Salah satu di antaranya adalah fenomena degradasi ekologi yang dewasa ini berlangsung semakin parah dan mengglobal.

Maka hingga dewasa ini kita masih mendapati lebih dari 1 milyar orang dari sekitar 7 milyar manusia penghuni Bumi terbelenggu kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan. Inilah ‘anak haram’ pembangunan, yang secara keseluruhan membentuk kesenjangan struktural atas dasar pembelahan kaya dan miskin dan/atau maju dan terbelakang; yang hal itu tidak saja merupakan kenyataan pahit yang dialami masyarakat dalam suatu negara (elit dan rakyat), tetapi juga antara negara (negara kaya dan negara miskin).

Indonesia di Persimpangan Jalan (halaman selanjutnya…)

Tinggalkan Balasan