Berita  

Melihat Sosok Ananta Wahana dari Sudut Pandang Berbeda

Ananta Wahana adalah salah satu sosok public figure yang plural dan sangat dekat dengan berbagai elemen masyarakat. Ananta juga politikus yang rajin bersilaturahmi ke berbagai tokoh. Kegemarannya, mengumpulkan tokoh dari berbagai agama untuk diajak berdiskusi memecahkan persoalan-persoalan bangsa.

Begitulah pandangan Drs. KH. Khozinul Asror, M.Ag, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Khozy, Kadutomo, Jiput, Pandeglang-Banten tentang sosok Ananta Wahana. Penggalan kalimat ini ditemukan dalam buku “Melawan Korupsi di Banten”, terbitan Suhud Sentrautama, Januari 2014.

Dalam buku ini, Menteri Sekretaris Negara pada era Gus Dur, Bondan Gunawan juga menilai bahwa Ananta telah melakukan perjuangan menghancurkan kebatilan dan penjara “Bastille” di Banten. Penjara Bastille adalah ikon Revolusi Prancis yang meletus pada 14 Juli 1789, ketika Raja Louis XVI menjadi raja negara tersebut. Revolusi ini diawali dengan “Sumpah Lapangan Tenis” sebulan sebelum revolusi muncul, dan diikuti dengan penjara Bastille yang menjadi simbol kesewenang-wenangan serta penindasan tak berprikemanusiaan. Dan, terkuaknya mega korupsi di Banten pada Oktober 2013 yang ditandai dengan ditangkapnya Ketua MK, Akil Muchtar dan salah seorang pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik kandung Gubernur Banten kala itu serta ikut menyeret nama kakaknya tersebut, adalah sebagai bukti bahwa praktik korupsi di Banten memang nyata. Dalam hal ini, kata Bondan, Ananta berani tampil ikut ambil bagian dalam menggulingkan “Revolusi Prancis” dalam skala kecil itu.

Dalam sudut pandang berbeda, penulis melihat bahwa Ananta adalah sosok yang ulet, managerial dan sangat disiplin. Setiap mengambil keputusan selalu penuh pertimbangan, baik secara politis maupun ekonomis. Namun demikian, selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Tak memandang sebelah mata, terlebih terhadap masyarakat yang lemah dan membutuhkan bantuan. Satu lagi, selalu mengajak siapa pun untuk berpikir cerdas, tidak pragmatis, dan mengedepankan nilai-nilai kegotong royongan. “Holopis Kuntul Baris”, demikian lah kalimat yang selalu diusung dan menjadi simbol perjuangannya.

Hal ini pula yang diterapkan dalam gerakan politiknya. Sejak awal 2013, penulis adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang kerap diajak untuk berdiskusi. Ananta sangat menghargai pemikiran orang lain. Tidak melihat sisi perbedaan, tapi selalu mencari persamaan dalam setiap pemikiran. Sehingga tidak ada sekat, dan bisa berbaur dengan siapa pun dan di mana pun.

Pada Lebaran 2018 lalu, penulis diajak berkeliling untuk bersilaturahmi: ke tokoh-tokoh ulama hingga menemui warga binaan di Rumah Tahanan Kelas I Kabupaten Tangerang: ber-Idul Fitri dan memberikan semangat kepada warga yang terjerat hukum dan sedang menghabiskan masa tahanan. Makan roti bersama, tanpa ada jarak.

Ketika maju dalam kontestan politik sebagai Calon Legislatif (caleg) DPR RI dari Daerah Pemilihan Banten III, dan diumumkan oleh KPU lolos menjadi wakil rakyat periode 2019-2024, banyak pelajaran yang didapat dari perjalanannya. Ini bukan soal garis tangan, lantaran sebelumnya sudah 3 periode berturut-turut menjadi wakil rakyat di DPRD Provinsi Banten. Namun karena hadiah dari Tuhan, yaitu buah kerja keras serta ketulusannya ketika ia selalu hadir jika dibutuhkan oleh masyarakat. Bagaimana tidak, hanya 26.662 suara mampu mengantarkannya ke kursi Senayan. Dari situlah, betapa hebatnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan: ketika memiliki niat mulia, tak pernah ragu untuk terus maju. Dengan ikhlas dan perjuangan yang ulet, Tuhan mengutus tangan-tangan-NYA untuk memberikan pertolongan dan kemudahan. Dan, politik uang bagi dirinya adalah sesuatu yang absurd, serta hanya menguras energi.

Kini, setelah dilantik sebagai wakil rakyat pada 1 Oktober 2019 nanti, tentu saja Ia harus siap mengerahkan sumber daya serta potensi yang dimilikinya. Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis yang merupakan salah satu aset “Kawah Condro Dimuko” bagi para cantrik dan masyarakat dalam mendapatkan pendidikan politik, serta menularkan nilai-nilai kebangsaan yang dikelolanya, harus mampu memberikan dampak yang lebih besar dan luas lagi kepada masyarakat. Karena padepokan ini menjadi salah satu aset untuk membangun peradaban.

Betapa pentingnya memberikan ruang untuk masyarakat, terutama generasi milenial dalam menghadapi setiap persoalan bangsa. Dan, perjuangan belum selesai. Setumpuk persolan siap menanti di Senayan. Apakah Ananta Wahana yang dikenal sebagai sosok yang cerdas dan pemberani, dan mampu ikut menggulingkan penjara “Bastille” di Banten masih tetap bergeliat di “Gedung Keong” nan megah itu? Rakyat di Banten, menunggu!

Oleh: Widi Hatmoko

Setiap karya tulis opini yang diunggah pada kanal ESAI semartara.com ini, menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini, maka sesuai aturan pers dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis opini. Dan Redaksi akan menyiarkan tulisan tersebut secara berimbang.

Tinggalkan Balasan