Dalam webinar yang dilaksanakan pada Rabu (10/3/2021), beberapa narasumber memberi pandangannya sesuai dengan perspektifnya.
Politisi Senior PDI Perjuangan, Sirmadji Tjondro Pragolo:
Partai Nasional Indonesia (PNI) lahir sebagai wujud perlawanan kepada kolonialisme. Di era Orde Baru, muncul dinamika politik baru, sehingga terjadi fusi pada 10 Januari 1973 dengan kelahiran PDI. Sejarah berjalan dan pemerintah terus mengintervensi PDI, saat dipimpin Ibu Megawati Soekarnoputri. Konflik pun semakin dinamis menjadi konflik ideologis hingga terjadi peristiwa Kudatuli.
Kemudian lahir PDI Perjuangan yang merupakan kelanjutkan dari PDI. Dan hal paling penting, tak boleh menyebut PDIP tetapi harus disebut sebagai PDI Perjuangan. PDI Perjuangan merupakan manifestasi dari perjuangan yang tak pernah berhenti. Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan pun dipercaya rakyat sebagai pemenang Pemilu.
Pada tahun 2005, PDI Perjuangan terus melakukan intensitas konsolidasi kader setelah suara menurun di Pemilu 2004. Selama dekade 2004 – 2014, PDI Perjuangan memilih posisi di luar pemerintahan dan mengambil posisi politik kritik konstruktif kepada pemerintah. Sehingga pada 2014, partai ini kembali dipercaya rakyat. Pun demikian pada 2019.
Ke depan, PDI Perjuangan harus terus konsisten dalam berideologi melalui jalan Trisakti, dan terus menerus melakukakan edukasi politik kepada masyarakat luas. Selain itu, harus terus mendampingi dan mengadvokasi rakyat.
Ada masa, di mana PDI Perjuangan belum memiliki kesamaan ideologi yang solid dan diwarnai konflik internal, sehingga pernah sangat tidak siap menghadapi kemenangan. Evaluasi dari refleksi perjalanan panjang PDI Perjuangan lalu menjadi pembelajaran yang sangat bermakna. Sehingga, PDI Perjuangan menguat menjadi Partai yg ideologis (Pancasila) dengan jalan Trisakti dan sebagai partai yg modern. Inilah yang memandu PDI Perjuangan menjadi partai pemenang.
Jurnalis Senior, Dr. Daniel Dhakidae:
Melihat Konstruksi PDI Perjuangan dari masa ke masa, menunjukkan kesetiaan terhadap marhaenisme dan Soekarnoisme (1920, 1926, 1973, sd PDI Perjuangan). Ini yg menjadi penguat atau pondasi loyalitas dan militansi kader PDI Perjuangan.
Kekuatan ini menjadi modal yang luar biasa bagi keberlanjutan dan kejayaan PDI Perjuangan. Ini sekaligus menjadi pembeda bagi PDI Perjuangan dengan partai-partai lain. Sehingga, pada akhirnya membuat rakyat memilih dan mencintai PDI Perjuangan. Pemilih loyal dan militanlah yang mengantarkan terus PDI Perjuangan menjadi partai pemenang.
Jurnalis Kompas, Yophiandi Kurniawan:
Dalam perjalan PDI Perjuangan kedepan, partai besar ini tidak lepas dari persoalan internal partai. Menurut Yophiandi Kurniawan, partai ini kehilangan figur yang bisa merangkul seperti sosok Almarhum Taufiq Kiemas.
Disisi yang lain, perkembangan jaman juga menuntut PDI Perjuangan untuk menjawab tantangan konstituen, berupa pemilih pemula dan milenial. Ini harus digarap secara serius.
Sementara tantangan eksternal yang dihadapi PDI Perjuangan saat ini adalah globalisme, Islam dan sekularisme, serta militerisme dan otoritarianisme.
Terkait globalisme, nafas nasionalistik semakin memudar. Upaya PDI Perjuangan menghadapi globalisme sudah nampak dengan strategi kepentingan nasional. Political engineering menjadi sangat penting.
Lanjut Yophiandi, PDI Perjuangan harus bisa menjawab isu global, termasuk kerja sama tingkat regional dan internasional.
Selain itu, PDI Perjuangan juga harus mengatasi nafas pluralisme yang saat ini sedang menyempit, termasuk politik identitas yang kian menguat. Merangkul kelompok-kelompok Islam yang banyak tersebar, dengan memaksimalkan peran Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sebagai bagian dari partai. Bamusi harus maju ke depan di tengah kantong-kantong Islam dengan soft-politic.
PDI Perjuangan juga harus meneruskan kemampuan Ibu Megawati dalam merangkul kelompok militer, tutup jurnalis Kompas.